Kokkonang Tempatku Pulang
Kokkonang
Tempatku Pulang
Sudah hampir habis masa aktif kami di Jakarta
tinggal menghitung hari untuk pulang. Banyak hal yang kami pelajari dari
Jakarta: berbisnis, bahasa kota, gaya kota, sosial kota... Semua itu kami rasa
hanya sebagian dari keseluruhan ilmu Jakarta, tapi waktu berkata bahwa kami
harus pulang ke Madura.
Ada kesenjangan meninggalkan kota sebagai guru kami
membaca dunia. Sebuah pertemuan singkat yang berakhir dengan pundi berbagai
ilmu pengetahuan. Ya, Jakarta tak hanya wadah perantauan atau sajadah mengaduh
nasib melainkan sekolah nonformal. Berbeda dengan sekolah secara umum, tapi
sekolah secara khusus. Artinya, sistemnya tak sama dengan sekolah secara umum.
Jika kita sekolah memakai sistem teoritistik dan mendengar ceramah guru, namun
Jakarta memiliki versi baru yang menurut saya efektif untuk dijadikan konsep
sekolah formal, yaitu praktikum. Semacam konsep yang tak perlu teori, melainkan
mempraktekkan langsung, atau teorisasi sebagai media kelancaran praktek, misal
saja berbisnis. Mungkin dalam kurikulum sekolah dipelajari teori, seperti
modal, konsep, dan produsen. Tapi apakah sesempit itu pemahaman kita? Jika tak
memakai konsep praktikum terasa hambar pengetahuan kita, atau lupa kemudian
hari. Di mana mengaplikasikan konsep praktikum, yaitu Jakarta, karena wadah
yang pesat saham besar negara berpusat pada Jakarta. Selain Jakarta juga bisa,
misal desa sendiri. Apa mungkin lowongan masih ada? Jika ada, tak mungkin
penduduk mengaduh nasib ke tanah orang. Tentunya, setiap desa mesti berguru
langsung pada Jakarta agar populasi perantauan sedikit berkurang. Maka melalui
berguru dapat menjadi wadah kreatifitas dan inovasi sendiri dalam bersaing
lewat kompetisi global.
Saat tengah malam, dan malam-malam terakhir kami
bersiap diri untuk pulang. Aku merapikan pakaian dan ole-ole untuk kerabat dan
keluarga. Seketika, terbersit dalam otakku. Aku akan pulang ke mana? Rumah atau
pesantren! Dunia atau akhirat! Jika pulang ke rumah, maka takkan kembali ke
pesantren. Begitu sebaliknya. Jika pulang ke akhirat aku mati, tapi dunia
adalah tempat dosa secara bebas. Lantas aku pulang ke mana dan untuk apa? Jika
hadirku hanya benalu untuk memakan daun-daun harapan. Aku berhenti sejenak.
Namun apa daya, rasa was-was menghantuiku. Betapa kecewa nanti aku pulang masih
seperti dulu tak merasakan bagaimana penderitaan uang. Bukankah uang untuk
bersenang? Segepok uang dibawa pulang, lalu dihambur-hamburkan. Seperitukah,
pemikiran hedonismeku? Aku tinggal altifitas sementara. Aku melihat Marhasan
asyik menyelam dalam tulisannya. Semoga saja nanti ada mutiara pencerah
kegalauanku. Aku duduk dekat Marhasan. Dia menatapku.
"Ada rindu di matamu?" ucap Marhasan, aku
tak menjawab. "Ceritakan saja rindumu untuk siapa? Dia atau dia
lainnya!" tambahnya.
"Aku rindu pulang, tapi aku bimbang, pulang ke
mana dan untuk apa?"
"Di mana tempatmu, disitulah ada jalan untuk
pulang"
"Apa maksudmu?"
"Aku dan kamu adalah sama. Satu tubuh dari
orang yang bernyawa. Kokkonang adalah tempatku pulang. Aku hidup dan merasakan
dunia nyata layaknya manusia biasanya, karena ada seseorang mengidupkanku,
yaitu Kokkonang maka aku akan kembali kepadanya."
"Kenapa harus pulang ke Kokkonang?"
"Karena Kokkonang adalah rumah pendidikan.
Juga, rumah bernaung untuk memecahkan masalah kehidupam. Setiap kompolan kita
membahas edukasi, konspirasi, birokrasi, cinta, pesantren dan segala yang
menyangkut dengan kehidupan. Selain itu, kita berguyon atau berhumor bersama
agar target bisa tercapai dengan sempurna. Sebab, kepokusan dapat membosankan
jika tidak dikombinasikan dengan jenaka. Semua itu kami melakukan sebagai media
ke-peka-an dalam menyikapi gejala kehidupan. Dunia tak selamanya baik, karena
manusia memindset dunia kehendak nafsuhnya sendiri, bahkan malaikat saja sudah
memprediksi jika manusia ditempatkan di dunia akan melakukan kerusakan dan
pertumpahan darah, mengapa tidak para malaikat saja? Karena Allah memiliki
rahasia besar yang tidak diketahui makhluq apalagi malaikat, yaitu dunia
sebagai ladang kompetisi dalam mengingat Tuhan, beribadah, dan berkreatif dari
bakat-bakat dalam dirinya. Terus hubungannya dengan Kokkonang adalah membatu
meringankan masalah kehidupan dengan mencari solusi dari setiap perenungan dan
berpikir, kemudian dipadukan menjadi satu kesempurnaan. Makanya, Kokkonang
selain rumah pendidikan juga rumah solusi bagi penyandang masalah."
Kokkonang dan rumah, atau lebih gambangnya lagi
rumah Kokkonang, adalah tempatku pulang untuk berjumpa rekan lama seperti
Dulhaddat, Juha, Sugambar, Dolala, Dolali, Matrai, Endu dan Ukar mereka adalah
pahlawan seperjuangan, meski tak dikenal secara konferensi tapi terkenal dalam
Kompolan. Sudah 3 bulan aku tak berkecimpung, bergurau, berdealektis, dan
bercurhat bersama para Kokkonang sebab ada pekerjaan penghalang yang tidak bisa
ditinggalkan. Maka Kokkonang kujadikan korban dari pekerjaanku. Menjadi korban
bukanlah sesuatu yang bahagia, mesti ada kekecewaan atau semangat juang menurun
yang perlu aku benahi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Jika, dari
Kokkonang saja tak teratasi masalanya, mana mungkin mengatasi masalah yang
bercabang-cabang.
"Qiey, terus kamu pulang kemana?" bertanya
Marhasan.
"Pulang ke Kokkonang!"
"Kok berbarengan kita?"
"Selain Kokkonang adalah rumahku, ia juga
guruku. Aku 'kan bodoh bertingkat, tak sepertimu yang menguasai berbagai ilmu.
Jangkan "berbagai" satu aja sudah minta pengajuan mundur dari ilmu
yang kupelajari. Makanya, aku ingin belajar pada Kokkonang agar otakku sama
sepertimu. Ada masalah langsung dikritisi."
"Jika Kokkonang tidak menerimamu?"
"Aku paksa ia!"
"Pemerkosaan ini namanya"
"Terserah kamu mau bilang pemaksaan,
pemerkosaan, atau apa yang penting aku bisa diterima menjadi murid."
"Tak efektif namanya?"
"Marhasan?" potongku. "Kita mau
pulang atau berdebat?"
Jakarta, 18 November 2017
Ceritanya sangat enak dibaca dan menginspirasi, dibuat buku Sob.
BalasHapus