Pegadaian Tuhan


Pegadaian Tuhan
         
  Akhir-akhir ini Juha sangat optimisme membuat puisi. Hal ini, didorong oleh berbagai event-event lokal dan nasional yang nantinya dapat menghasilkan keuntungan melimpah. Kemarin, pada hari Kamis, Juha memulai pengembaraan imajinasinya dan mencari diksi penghias bahasanya. Juha mengeksploitasi semua kalangan, sehingga dari proses tersebut menghasilkan sebuah puisi berjudul “Di mana Tuhan”. Tidak cukup itu, Juha meminta Marhasan untuk mengoreksi dan memperbaikinya. Dosa rasanya bagi Marhasan tidak membagikan ilmu kesusastraan pada Juha. Mentang-mentang pintar menulis puisi dan puisinya selalu diantologikan bersama para penyair lainnya. Bahkan, tercatat sebagai 1000  penyair terpilih Nusantara berkat puisi “IBU” yang dikarang, Marhasan berlagak sombong di atas bumi ini. Tentu kalau hal itu terjadi, bumi sangat beroptimis untuk memakannya. Maka melihat ekspresi belas kasihan Juha, Marhasan menyanggupinya.
            Juha pada umumnya dikenal oleh kawulah muda bertipikan suka orak-orakan, tidak tahu agama dan selalu melanggar aturan pesantren. Namun nasibnya semakin hari mulai membaik berkat teman akrabnya menggiring memasuki satu pintu yang belum dicoba. Tentunya, untuk memasuki pintu tersebut dengan syarat bisa menulis. Karena menulis adalah fasilitas kita mengenal dengan tuhan dan ciptaan-Nya. Juha diberi semangat baru seperti semangat api membakar ranting pohon kering. Juha dituntun mengenal dunia luas, hakikat Tuhan dan menggali potensi dalam dirinya. Akhirnya, dari aral proses menyakitkan tersebut, sedikit demi sedikit mengalami transformasi (perubahan) mikanisme kehidupannya. Petang menjadi terang. Keruh menjadi jernih. Gelap menjadi berwarna. Tiada menjadi ada.
            “Di mana Tuhan” itu diilhami oleh sebuah kejadian di masjid Baitus Salam. Ketika itu, di dalam masjid para santri melakukan tindak kriminal yaitu saling pukul memukul, atau diistilahkan “Teman Makan Teman”. Melihat kejadian itu, hati Juha bergeming. Juha mengambil sejadah lalu memukulkan pada pundak masing-masing.Dalam hatinya pasti timbul “rasa kasihan” kalaupun misal, dibawa pada kasus HAM ia akan memakai kalung “TKP Pemukulan Ilegal”, namun kalau dibiarkan akan menjadi problem besar bagi agama islam. Mengapa tidak? Tuhan yang disembah dengan ta`zim, mereka gadaikan pada dunia sementara. Apakah tidak marah nanti Tuhannya. Di rumah agung yang dijadikan fasilitas “berface to face ditempatkan dengan kelakuan hewani.
            Maka, bergegaslah Juha memaunkan penanya untuk menulis puisi, meskipun agak tergesa-gesa, sehingga terasa belum tuntas dan belum tereksploitasi ide-idenya secara maksimal. Tapi suda cukup menyenangkan. Isinya adalah sebuah ungkapan pencarian Tuhan. Terkadang manusia sowan ke rumah kiai, guru, presiden dan orang terhormat lainnya, ta`zimnya minta ampun. Sedangkan sowan ke rumah Allah ampunnya minta ta`zim-tidak ta`zim-seolah-olah Allah terkalahkan dengan makhluknya. Mengapa ada kepincangan pemikiran? Ini menjadi promlem bagi agama besar (islam). Sementinya rumah Allah diprioritaskan lalu lainnya. Kalaupun ini masih berlajut islam digadaikan pada hedonism. Ketika dibutuhkan kembali baru mengambilnya. Namun ketika tidak dibutuhkan baru digadaikan lagi. Seperti halnya motto pegadaian “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”.
            Marhasan ikut miris melihat realita sekarang melalui ungkapan puisi Juha. Ia tak habis pikir, mengapa islam dikenal RohmatalLIL alamin statemen itu semakin hari tak teruji zaman. Setiap tahunnya terjadi aksi terror dari kelompok islam yang memakan nyawa jutaan orang. Sementara Nabi Muhammad tidak menjelaskan bagaimana cara merakit bom lalu diledakkab digereja dan tempat-tempat umum yang mengatas namakan jihad, melaikan nabi mencontohkan akhlaq yang luhur. Akhirnya, Marhasan mengatasi kegundahan hatinya dengan ngobrol bareng di komonitas Kokkonang.
            “Bayangkan kalau Allah membaca puisi Juha, bagaiman responNya lalu kaitkan dengan realita islam sekarang?” berkata Marhasan.
            “Itu malah bagus?” sahut Dolali.
            “Kok bagus!?”
            “Agar Allah menampakkan wujudNya, sementara kita mengenal zatNya melalui pelajaran-pelajaran tauhid atau aqidah di sekolah maupun pengajian umum,” tanggap Sugember.
            “Sp itu mah bagus pisan. Selain itu juga, Allah harus menampakkan amarahnya layaknya kiai marah pada santrinya sehingga wibawa kiai terangkat dan santri akan takut” tambah Dolali.
            “Tapi itu sama saja mengeksploitasi Tuhan” berkata Dul Saddat dari samping.
            “Kenapa?” tandas marasan.
            “Sebab, selama ini kita dipelajari kitab-kitab ulama Timur Tengah dan buku-buku nodern yang sama membuktikan adanya bumi, jagat raya, manusia, hewan, tumbuhan dan ciptaan lainNya termasuk manifestasi wujud dan zat Tuhan. Melalui itu kita dapat merenungkan kekuasaan Allah yang agung dan kaya pengetahuan. Pokoknya kita harus tegas bahwa Allah masih ada dan kita diatur olehNya. Jangan samapai kita gadaikan agama pada hedonism. Sekarang aja banyak iming-iming Atheisme dalam jiwa manusia yang dilator belakangi agama sebagai penyebab timbulnya konflik sosio-kultural.” Berkata Dul Saddat dengan panjang lebar.
            “Tapi bagaiman kita mengubah keadaan?”berkata Marhasan.
            “Itu soal gampang,”Juha manjawab, “Diadakan cuci pikiran dan hati. Kita undang pakar psikologi religion untuk membuang keburukan otak dan hati para santri. Karena itu adalah sumber mikanisme alam bawah dan atas manusia.”
            “Uang pesantren menipis, dong,”sahut Dolali
            “Itu kan soal menejemen….”
            “Kalau masalah ini tetap dianak pinakkan, mau jadi apa nasib islam 20 ini. Sementara hari semakin dipertanyakan. Di mana-mana terjadi kerusakan dan pertumpahan darah. Lha, kita harus mengambil sikap tegas memanfaatkan waktu dengan apa adanya, meskipun sering memuntahkan racun kehidupan. Ini sangat berbahaya!”
            Rupanya Sugember tidak setuju.
            “Nanti dulu,” katanya “Saya mengajak saudara-saudara untuk merenungkan kembali. Apakah yg berbahaya santri atau pesantren,”
            “Apa maksudmu?”bertanya-tanya Dolali.
            “Selama ini pesantren mengajari kita untuk dekat dengan Allah. Baik melalui ibadah langsung atau ilmu pengetahuan. Realita berbicara, para santri sekarang lebih makro pada kenikmatan yang sementara. Mereka berenang di lautan hedonisme dan tidak ada yang bisa mengganggunya. Sementara, kewajiban dan sunnah ibadahNya terlupakan sementara, baru mengerjakan apabila ada orang memperingatinya. Jadi bukan pesantren, Tuhan dan ilmu disalahkan tapi santrinya bermasalah. Dan perlu disekolahkan lagi pada tingkatan TK agar tertanam aqidah dasar yaitu sifat wajib, muhal dan jaiz Allah.”
            Semuanya terdiam.
            “Saya berkesimpulan bahwa Allah itu ada dan sangat dekat dengan manusia, saking dekatnya lebih dekat dengan urat nadi kita. Allah ada dimana-mana, meskipun kita bersembunyi di lubang semut pun Allah akan melihat dan menilai gerak-gerik hambaNya. Jadi revolusi yang kita selenggarakan adalah “Revolusi Pengubah Nasib” problem ini. Dan kalau ternyata saudara-saudara bersepakat untuk juga memberantas statemen “Anti Tuhan” dan “Buta Tuhan” di pesantren dan lingkungan umum” tegas Marhasan
            “Setuju! Setuju!” semua menjawab riuh rendah.
            Suasana menjadi hening. Jam dinding berdenting. Hati siapa yang tak berdeming. Semua anggota Kokkonang kembali ke kamarnya masing-masing dan melanjutkan mimpi indahnya dari kemarin. Sementara Marhasan pikirannya terbang lintas dunia. Mengadu nasib pada Tuhan.



                                                                                                Gapura, 08 Januari 2017

0 Response to "Pegadaian Tuhan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel