Sumenep Bergantung, Sumenep Digantung
Sumenep
Bergantung, Sumenep Digantung
Hilang-lenyapnya Juha sedari sore, membuat para kokkonang cemas dan gelisah. Malahan hari-hari terakhir ini, kegelisahan meninhkat gara-gara berkembang fakta menjual tanah di kota Sumenep. Marhasan sedari tadi mencari-cari juha namun hasilnya nihil. Kemudian, Marhasan mencoba bertanya pada Sugember hasinya memuaskan. Juha dikabarkan hilang, kini menjalani observasi-survei ke desanya. Mengingat fakta ini tersebar di mana- mana sampai menjadi perbincangan oraganisasi, tempat umum maupun media sosial.
Kegelisahan para kokkonang timbul dari inspirasi Marhasan
melihat Sumenep dengan “ Kaca Mata Emosional.” begitu maraknya pembelian tanah ilegal
kaum investor dan kapitalis, sehingga Sumenep tidak cantik lagi karena
kesakralannya dijual dengan harga murah. Meskipun Sumenep memakai “kosmetik”
kultur eropa, namun ruh Sumenep semakin buram. Marhasan sangat prihatin nasib Sumenep
2017 ini, lantas bagaimana kondisi Sumenep pada tahun 2030? Mau jadi apa Sumenep
nanti! Tentunya , menjadi “gunjingan” daerah atau Negara lain karena kebodohan
penduduknya sendiri yang mengakibatkan Sumenep menyandang predikat “Wujuduhu kaadamihi (ada tapi tidak ada).
Kegelisahan para kokkonang juga sama dialami Pemkab Sumenep
dan pesantren. Sumenep dulunya cantik rupawan dan dilirik banyak orang. Bisa
dilihat dari SDA dan SDM-nya. Ketika zaman berubah karakternya, Sumenep
bukanlah kabupaten “Independent”. Hal ini mengakibatkan Sumenep tak teruji
zaman. Artinya, Sumenep tidak bisa mengelolah kekayaannya sendiri, lebih
mementingkan egoisme dan hedonisme dalam dirinya. Tentunya, kalau anda melihat
dari “kaca mata emosional,” pasti anda mengatakan. “Mengapa bisa menjadi
seperti ini?”, “mengapa menjadi revolusi kehancuran?”. Dari pusat kota sampai
belahan Sumenep bagian timur, kekayaan Sumenep hampir direnggut habis oleh
investor dan kapitalis. Seolah-olah Sumenep mengalami revolusi-transisi. Diakui
atau tidak, Sumenep memasuki “era industrilisasi”. Banyak investor asing
mengelolah kekayaan Sumenep seperti minyak bumi, tambak udang dan wisata.
Tentu, kuantitas hasil pendapatan ekonomi daerah dominan direnggut pihak asing,
sedangkan penduduknya diperbudak dan menjadi imigran ke kota metropolitan,
karena daerahnya sendiri menjadi lembah kehancuran ekonominya.
Sedimikian rumit nasib SDA Sumenep, bagaimana kalau
dilihat dari SDM-nya?. Marhasan sakit hati. Ia teringat kata-kata mutiara
ciptaan Presiden Kennedy yang masyhur. “Jangan bertanya apa yang Negara berikan
kepadamu tapi pada dirimu apa yang kamu persembahkan pada negaramu” seolah-olah
Marhasan berjalan dalam kebimbangan, antara “iya atau tidak”. Begitu maraknya
perzinahan, narkoba, pencurian dan sebagainya yang melonggarkan tali Madura dan
keislaman. Hal ini bersifat fatal dann sangat sulit untuk dirubah kecuali
penataan diri. Banyak gerakan-gerakan “Revolusi” dari pesantren dan masyarakat
umum, baik berupa terjun langsung kelapangan, seminar, dan tulisan ilmiyah di
dunia maya. Namun anehnya, dari anggota-anggotanya sendiri menjadi provokator
kehancuran bagi daerahnya sendiri. Ini perlu dipertanyakan dan dikoreksi ulang.
Dan kalau ini masih dikembangkan, bahkan tradisikan Sumenep akan semaput, entah akan sadar atau tidak. Sumenep
mengalami transisi, entah kapan akan kembali.
Kalaupun masalah ini hanya Marhasan yang memikirkan,
sebelum pangkat provesor sudah tentu botak duluan. Marhasan mencoba
mengumpulkan anggota kokkonang dan menceritakan semua yang dipirkan. Di akhir
ceritanya, Marhasan mencoba menghidupkan forum.
“Bagaimana menurut kalian. 2017 Sumenep mengalami krisis
SDA dan SDM, entah 10 tahun akan datang, tentu lebih menyakitkan dari tahun
ini?” berkata Marhasan.
“Ini harus dipertegas sebab ini bersifat fatal!” celetuh Sugember
dengan suara lantang.
“Fatal bagaimana?”
“Di desa saya, tanah hampir terjual. Anehnya, itu milik
kakek saya sendiri. Letaknya di Asta Kormat, desa Dungkek perbatasan Lapa
Taman. Menurut data yang saya dapat dari aparat desa. Asta Kormat adalah tempat
yang terletak diperbukitan dan cocok dijadikan wisata. Di tempat itu ada batu
yang disebut batu cenning oleh masyarakat setempat. Batu yang berbeda dengan
batu lainnya. Batu itu dapat menciptakan bunyi, apalagi kalau disandingkan
dengan alat musik, tentu menghasilkan irama syahdu. Lha, tanah Asta Kormat
milik kakek saya, seandainya dibeli orang Madura sendiri mungkin harganya 2
juta. Akan tetapi ketika investor datang dengan membawa uang melimpah mereka
berani membeli dengan harga melambung
sekitar 30 juta ke atas. Dengan uang sebanyak itu, kakek saya berniat
menuntaskan rukun islam ke lima. Namun Tuhan berkata lain, sebelum uang
tersebut disetor, kepala desa dan aparatnya mengintrogasi kakek saya dengan
pemahaman efek samping penjualan tanah. Akhirnya kakek saya sadar lalu tanahnya
diambil alih dan tidak diperjualbelikan. Alhamdulillah, di desa Dungkek tidak
ada tanah terjual karena semua aparat desa mayoritas dari kaum santri yang
berpendidikan. Yang mengganjal dalam benak saya. Dari segi apakah investor
tertarik tanah Asta Kormat, sedangkan dibuat tambak udang tidak mungkin,
pengeboran migas juga tidak mungkin karena setahu saya lahan tanah tersebut
berupa bebatuan.”
“Bukannya tidak mungkin, tapi pasti. Terkadang investor
dan kapitalis bukan satu tujuan. Artinya, tanah yang dibeli bukan hanya tambak
udang. Dalam benak mereka sering melahirkan banyak pemikiran dan pertimbangan,
sehingga kalau diklasifikasikan menjadi banyak tujuan. Mana ada di Gili Iyang
tambak udang melaikan oksigennya lalu dikembangkan menjadi wisata kesehatan.
Tidak menutup kemungkinan di Asta Kormat akan dijadikan wisata, selain
pemandangnya menjadi sorotan publik, juga ada batu cenning yang unik dan
langkah. Saya mendengar dari K. A. Dardiri Zubairi waktu menghadiri Kompolan Tera` bulan. “ Kita tidur di
tanah Madura sama saja kita tidur di atas migas.” Ini manifestasi bahwa Madura
kaya dengan migas. Lha, tidak menutup kemungkinan-anda tidak tahu karena belum
meneliti- Asta Kormat di dalamnya ada migasnya. Ini sebatas atmosfer Dungkek,
bagaimana di luar? begitu maraknya penjualan tanah dengan harga murah, sehingga
pendapatan ekonomi daerah kritis seperti yang dialami desa Lapa Taman,
Andulang, Longos, Kombang dan sebagainya. Kalau ini masih mengendap pada tubuh Sumenep,
maka Sumenep menjadi bayang-bayang mekanisme kehidupan.” Sanggah Dul haddat.
“Ini namanya Sumenep bergantung, Sumenep digantung.
Artinya, Sumenep masih bergantung pada pesantren dan orang-orang arif yang
bijaksana. Kalau keduanya tidak ada dan hanya sebatas nama maka Sumenep
digantung penderitaan kaum investor dan kapitalis yang tidak bertanggungjawab
merenggut kekayaan Madura, khususnya Sumenep.
Mana jiwa kalian! Kalau pesantren lainnya berjihad melalui pemikiran,
masak kita hanya akan menjadi penonton setia sedangkan saudara-saudara kita
krisis menghadapi gejolak kehidupan. Apa kata dunia ?” berkata Dolali memberi
motivasi.
“Saya sangat setuju usulan Dolali. Yang menjadi problem
besar bagi saya. Dulu Sumenep dijajah melalui kultur dan sekarang dijajah
melalui kekayaan. Selanjutnya, Sumenep akan dijajah dengan cara apa?”
bertanya-tanya Marhasan.
“Kalau kultur sukses, kekayaan juga sukses, tinggal
dijajah penduduknya terutama kaum wanita. Tidak hanya kekayaan menjadi sorotan
mata tapi juga kaum wanita tak kalah menarik. Apalagi gadis-gadis Madura manis pisan. Dan apabila ketiganya direnggut
habis, maka Madura secara umum menjadi bayang-bayang mekanisme kehidupan. Sama
dengan pepatah wujuduhu kaadamihi.
Lantas apa yang bisa diandalkan?” berkata Dul haddat.
“Mungkin dan mungkinkah?” gumam Marhasan.
Gapura,
15 Januari 2017
0 Response to "Sumenep Bergantung, Sumenep Digantung"
Posting Komentar