Pemimpin Tertunda
Pemimpin Tertunda
Dialog bersama Basuki Tjahaja Purnama
Menang
dan kalah dalam kompetisi adalah hal yang biasa. Kalah menjadi ajang proses
transformasi untuk lebih baik dan menang adalah hasil dari transformasi
kekalahan. Kekalahan bukanlah akhir dari segalanya. namun adalah momen
terpenting untuk mendorong seseorang berada di atas kekalahannya. Begitu juga
sebaliknya, menang bukanlah hasil dominan melainkan adalah hasil sementara,
karena perspektif kemenangan dapat melawan nafsuhnya sendiri dan egoisme. Maka
melalui persepsi ini saya mencoba berdialog dengan Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) melalui alam bawah sadar saya.
Saya temui Ahok di sebuah apartemen pilgum DKI
Jakarta. Ahok terlihat enjoy menerima
ketentuan hasil resume hak suara dan melambaikan tangan sebagai tanda dari
kecintaanya terhadap pendukungnya lalu dilanjutkan dengan senyum manis khas
pemimpin. Ia memang tipe pemimpin yang menyapu orang lain melaui senyuman.
Karena dengan senyuman dapat mengurangi beban punggung manusia dalam menjalani
mekanisme kehidupan. Ahok dengan santainya berbincang dengan patnernya. Saya
tunggu sampai ada peluang emas untuk berdialektis bersama gubenur yang
tertunda. Saya menunggunya di warung kopi khas Jakarta. Saya memang sengaja
sebab berbincang-bincang sembari ngopi
lebih efektif dari ngobrol dalam ruangan yang kaku dan terlihat lugu di depan
publik.
Sudah
setengah jam saya menunggu, entah apa yang dibacarakan Ahok dengan patnernya
sehingga terlarut begitu lama. Akhirnya Ahok selesai juga ngobrolnya dan hendak
menuju mobil pribadinya. Saya langsung bangkit dan mengejarnya sembari
memanggil dengan sebutan “pememimpin tertunda” Mendengar sebutan aneh di
telinganya Ahok menoleh ke belakang dengan tatapan tanda Tanya. Sejak dari tadi
saya berlari, saya sampai di depan Ahok dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Kenapa Kamu sampai berlari. Itu tidak baik untuk
keshetanmu, apalagi sampai kamu kecapean seperti ini. Mari ikut aku mencari
warung terdekat!” kata Ahok sembari menutup pintu mobilnya dan membawaku ke
warung kopi terdekat. Sementara saya masih bertanya-tanya, mengapa sedemikian
gampangnya berbicara dengan konglomerat. Biasanya melaui kandidat dan
patner-patnernya. Besar kemungkinan bisa seminggu atau sebulan bertemu
langsung, tapi hal ini terbalik dan tidak masuk pada konsep realitas, sehingga
saya juga termasuh patner terpenting dalam dirinya tanpa melalui ini dan itu.
Kami sampai di warung kopi terdekat. Ahok memesan dua kopi sebagai penghilang
kelelahan dan rasa ngantuk. Sambil menunggu pesanan. Ahok memulai pembicaraan.
“Sampean Marhasan ya…?
Hening seketika. Mana mungkin orang terkenal seperti
Ahok bisa kenal dengan orang miskin dan bodoh seperti saya. Pertanyaan besar
masih menggantung.
“Di mana patner para Kokkonang yang lain: Juha,
Dolali, Dolala, Dul Haddat, dan Sugambar”
Pertanyaan yang hampir membunuh saya melalui
penasaran logika. Saya diam seribu bahasa.
“Sampean `kan yang nulis esai edisi Kokkonang?”
Satu lagi pertanyaan yang membuat saya manusi
terbodoh di dunia ini. Karena ini bersifat tulisan saya mencoba untuk
menjawabnya.
“Saya yang nulis semua edisi itu. Dan saya pula
Marhasan sedangkan patner-patner saya masih ada kepentingan penelitian untuk
mencari data sekedar memperkuat ilmiah tulisan saya.”
“Saya sangat tertarik dengan tulisan sampean yang
mengangkat berbagai konflik umum melalui emperis dan analisis-logis dalam
memberikan solusi efektif dan efesien. Saya menyuruh kandidat yang memiliki
daya ingat tinggi untuk membaca, memahami serta menghafal di madding sekolah
dan hasilnya nanti saya memahami tidak secara tekstual melainkan secara
intekstual. Dan saya juga menyuruh untuk mencari penulisnya sekaligus memfoto
untuk saya cari sendiri. Saya sangat berterima kasih pada Tuhan yang telah
mempertemukan saya dan anda sembari minum kopi hangat khas Jakarta.”
“Menjadi suatu kebanggaan bagi saya bisa bertatap
muka dengan anda. Saya sengaja ke Jakarta untuk mencari pengalaman hidup dan
ingin belajar ekonomis dan industrial pada kota metropolitan ini. Saya
juah-jauh dari desa dengan tekat illahi
ta`ala dalam hati kemudian berjalan menggunakan sepatu Shiratal Mustaqim. Ketika sampai tak lupa saya menyebut asma Allah
demi meperkuat keyakinan iman sebagai pagar kemaksiatan.”
“Itu sangat ideal”
Pelayan sudah datang dengan membawa pesanan kopi.
Kami pun meminum bersama sesekali memandang pada bentangan jalan luas . Deru kendaraan
saling bersahutan.
“Mohon maaf sebelumnya Pak, atas kelancangan saya
dan menganggangu aktivitas Bapak. Kita `kan berbeda agama. Perbedaan itu bukan
tirai penghalang bagi manusia yang hendak menyambung persaudaraan. Dalam konsep
Islam manusia itu sama tapi yang menjadi titik pembeda adalah ketakwaan pada
Allah. Bukanlah soal pangkat atau materi yang dilihat oleh Tuhan melainkan
sejauh mana kita beribadah kepadaNya. Dalam kitab suci al Quran Tuhan
menciptakan manusia di bumi ini tiada lain sebagai pemimpin. Baik pemimpin
dirinya sendiri atau orang lain. Kalau manusia enggan untuk menjadi pemimpin
berarti ia telah lalai melakukah perintah Tuhan. Otomatis manusia itu sudah
terlepas dari kondrat Tuhan. Pemimpin yang diharapkan oleh rakyat sangatlah
sulit, hal ini dilatarbelakangi oleh kebodohan rakyat itu sendiri. Dan tak
mungkin kalau rakyat pintar memilih pemimpin yang tidak merakyat. Ini namanya
kita kembali pada sistem Fir`aunisme yaitu otoritas pemimpin sederajat dengan
Tuhan yang mementingkan egeoisme dan materialisme. Maka secara tidak langsung
kita akan berhadapan dengan antek-anket Fir`aun modern dalam mementingkan hak
sendiri dan tidak termasuk konsep presiden Amerika trilogy rakyat.”
“Tuhan tidak akan tega melihat dunia hancur saat
ini. Masih ada jenjang proses panjang kehancuran dunia. Satu hal yang harus
kamu ketahui adalah Tuhan bersama kita. Meskipun Tuhan tidak menjodohkan saya
sebagai pemipin sebagai pemimpin itu sudah menjadi ketentuannya dan saya
menerima atas segalanya.”
“Tuhan bukan seperti itu Pak. Tapi ia menunda karena
bapak dikhawatirkan menjadi orang sombong dan tidak menerapkan konsep trilogy
rakyat. Tuhan tidak kejam. Kekejaman Tuhan ada tempatnya masing-masing, tidak
seperti makhluknya tidak meletakkan emosi sesuia situasi dan kondisi. Ingat
Pak, argument Bapak “Tuhan Bersama Kita” Melalui kata itu sudah mewakili bahwa
bapak cinta pada Tuhan dan Tuhan lebih cinta pada Bapak dan tuhan senang
bersama bapak.”
“Pintar kamu, San! Belajar sama siapa?”
“Sama Bapak!”
“Loh, kok pada siapa? Sejak kapan saya mengajari
kamu?”
“Sejak saya berada di Jakarta dan itu saya
belajarnya melalui alam bawah sadar saya”
“Oalah, sudah waktunya pulang, San. Sampean mau main
ke rumah ?”
“Terima Kasih Banyak Pak, ..!”
“Ya sudah, sampaikan salamku pada patner Kokkonang.
Saya tetap menunggu edisi selanjutnya. Pinjam bahasa penyair ‘Ada rindu di mataku’.”
Saya tak kuasa menahan gelak tawa. Selain pintar
beretorika, tapi pintar juga bersyair. Ahok meninggalkan saya di warung kopi
menuju mobilnya. Sopir membuka pintu belakang, Ahok melihat saya tertegun,
kemudian melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Saya pun melambaikan
tangan sampai mobil tersebut hilang di persimpangan.
“Tuhan bersama kita” itulah kata-kata yang saya
ingat terus.
Saya kembali pada realitas.
Banuaju Barat, 20 April
2017
0 Response to "Pemimpin Tertunda"
Posting Komentar