Mimbar Demokrasi

Mimbar Demokrasi
( Respon atas kritik dan saran siswi )

            Selesai sudah kesibukan individualis warga Kokkonang, ada tradisi baru di sekolah MA Nasy’atul muta’allimin. Tradisi baru ini adalah mimbar demokrasi.
            Ah, sebenarnya bukan sungguh-sungguh mimbar demokrasi seperti yang lazim terdapat di masjid-masjid ketika jum’atan ketika atau mimbar demokrasi sebagai orasi terhadap pemerintah yang lalai pada konsistensi pekerjaannya. Tapi ini adalah kebutuhan untuk mengasah keilmuan demi mencerdaskan anak bangsa dan menambah kesibukan yang positif. Adanya mimbar demokrasi sebagai ladang keilmuan bagi manusia yang jarang membaca alam dan sosial. Kan kita hidup tujuannya untuk mencari ilmu. Sementara ilmu tidak selamanya diperoleh di sekolah atau pesantren, bisa kita pergi ke hutan berguru pada hewan-hewan buas termasuk juga ilmu. Pergi ke lautan berguru pada ikan-ikan termasuk juga ilmu. Ilmu Tuhan itu sangat luas seandainya air laut dijadikan tinta, daun dijadikan kertas dan pohon sebagai penanya maka masih belum tuntas untuk menulis ilmu Tuhan. Tiap hari kita mempertahankan hidup, makan, minum, sandang pangan lancar, supaya tetap berpeluang untuk mencari ilmu. Kelak, ilmu tertinggi adalah ma’rifatullah. Kalau sudah mencapai itu, luluslah manusia dalam bertauhid.
            Di bagian depan kelas X IPS/3 ada sebuah papan pengumuman, dicat hijau dan ditempeli fotocopyan macam-macam tulisan yang kira-kira dibutuhkan pihak sekolah atau orang yang hendak menempelkan pemberitahuan. Ada tulisan pemberitahuan dari kapolsek sumenep, argument siswi, info event-event lomba, atau apa… makanya warga Kokkonang menamakan papan pengumuman sekolah sebagai “mimbar demokrasi” di mana semua orang berhak untuk orasi melalui karya tulisan, tidak perlu berada di depan, memegang tongkat lalu berbicara dengan lantang “saudara dan saudariku…” ini malah merumitkan kita sementara mental kadang kuat kemudian melemah. Dengan adanya sistem mimbar demokrasi mengajak semua kalangan untuk mengisi keilmuan apapun cara ini lebih efektif dan efesien mengemukakan pendapat asalkan nanti bisa dipertanggung jawabkan.
            Dalam mimbar demokrasi, warga Kokkonang mengisi tulisan yang bermacam-macam : esai, opini, cerpen, puisi, cerita atau apa yang penting dapat mengajak orang-orang untuk membudayakan membaca bukan mendengar karena perintah pertama adalah iqra’ (membaca) bukan istami’ (mendengar) dari beberapa tulisan warga Kokkonang yang dominan adalah kolom, tulisan esai yang berbentuk seperti cerpen tapi bukan cerpen melainkan setting tulisan meniru gaya cerpen. Cerpen esai, tulisan ini berbicara tentang tanah, Tuhan, cinta, asmara, birokrasi, pendidikan serta apa saja yang relevan. Terbitannya setiap minggu asalkan warga Kokkonang diberi intensitas menulis. Tulisan berlangsung dengan skala, tulisan bisa dicopot lalu digantikan dengan tulisan baru. Di tepi tulisan bisa juga diberi komentar bagi siapa yang mengomentarinya. Jadi mimbar demokrasi bisa terbit setiap minggu, terkecuali ada perubahan-perubahan secara spontan. Bisa juga area perdebatan rutin antara warga Kokkonang dengan pembaca yang kurang setuju dengan argument Kokkonang. Nanti, ketika sudah memuncak, warga Kokkonang menyeleggarakan serasahan untuk mencari titik pusat sebagai kesimpulan masalah. Dengan demikian, warga Kokkonang bertambah kesibukan dan penghayatan hidupnya, dari tradisi kerja cari nafkah, ditambah serasehan lisan, kini ditambah percaturan lewat tulisan.
            Seorang siswi, anggota rombongan RMJ, pada suatu malam melakukan wawancara kepada warga Kokkonang mengenai di mimbar demokrasi.
            “Siapa sih redaktur mimbar demokrasi ini?” bertanya anak RMJ
            “Semua!” jawab warga Kokkonang
            “Siapa pemimpinnya? Siapa yang bertanggung jawab?”
            “Semua pemimpinnya dan semua tanggung jawab”
            “Mengapa semua? Nanti kalian bertengkar?”
            “Kalau hanya satu orang pemimpinnya nanti orang yang susah orang tersebut. Kasihan, memikul beban sendirian pasti sangat melelahkan dan menyusahkan. Tapi kalau semua, sistemnya bukan personal lagi melainkan kolektif atau groyokan agar masalah cepat terselesaikan dan menanggung beban semua. Sistem seperti ini lebih menguntungkan dan menjadikan tubuh ini tidak terlalu menyusahkan, kalaupun bertengkar tidak apa-apa asal sanggup menyelesaikan konflik secara baik dan dewasa”
            “Itu terlalu ideal…”
            “Kami lebih mementingkan kolekfitas bukan personalitas”
            Tampaknya, yang terjadi bukan wawancara melainkan perdebatan.
Tapi, bukanlah perdebatan adalah bentuk wawancara yang terbaik dan lebih terjamin auntensitas dan kejujurannya.
            “Saya paham dengan mikanisme kalian. Tapi ada yang mengganjal dalam benak saya adalah tulisan kalian yang ditempelkan di papan informasisekolah. Padahal papan itu hanya berlaku untuk pengumuman tentang sekolah, sedangkan Kokkonang apa hubungannya dengan sekolah?”
            “Dulu kami menempelkan di mading karya siswi tapi karena ada intropsi harus pindah pada papan pengumuman, kami mengikutinya sebab dapat mengganggu mikanisme kreativitas siswi. Akhirnya kami ikut berdasarkan tha’at wata’dziman. Kami melihat papan pengumuman akan memudar karena tidak ada karya yang dapat mentransformasikan kejalan kehidupan dan keindahan. Maka kami berencana untuk menempelkan tulisan dan menjadikan sebagai mimbar demokrasi yang artinya tempat kebebasan untuk orasi dan mengemukakan argument dalam bentuk tulisan.”
            “Kami tidak ada hubungannya dengan sekolah, apalagi sampai berkompromi atau bekerjasama tapi sekolah ada hubungannya dengan kami sebab adanya kami dapat mengisi keilmuan sekolah. Dulu siswi dipelajari melalui sistem mendengar atau ceramah dari guru, tapi dengan hadirnya karya ini dapat mengubah mindset menjadi sistem membaca. Melalui membaca semua mikanisme tubuh berfungsi sebagaimana mestinya, seperti melihat, berpikir dan mendengar sementara melalui sistem mendengar mikanisme tubuh bergerak timpang, hal ini dapat membuyarkan daya ingat otak manusia. Kami mencoba melalui intensitas analisis kami dapat mencari sentral kesimpulan dari suatu permasalahan, nanti dapat menjadi acuan pemecahan masalah selanjutnya.”
            “Kita kan anak pesantren tentu di pelajari doktrin tatakrama ala santri dalam jiwa kita masing-masing sedangkan kalian main nempel-nempel aja tanpa izin dari atasan sekolah?”
            “Kata siapa tak diizinkan. Secara kongkret perlu adanya legitimasi sekaligus disertai tanda tangan dari sekolah, namun secara naluri pihak sekolah sudah mengeluarkan SK berbentuk abstrak tentang tulisan di papan. Buktinya, sampai saat ini tidak ada keributan sedikit pun mengenai tulisan, karena mereka tahu adanya tulisan tiada lain mengisi keilmuan. Maka berdosa sekolah memutuskan saluran keilmuan kami ke putri. Selain diperintah untuk belajar, disisi lain diperintah pula untuk mengamalkan secara tingkah maupun ekstetika tulisan. Apakah dengan cara seperti ini masih kurang pada lembaga?”
            “Pembuktian kalian masih abstrak bukan kongkret, sementara saya masih butuh penjelasan dari dua komponen : abstrak dan kongkret”
            “Kongkretkah SK Tuhan melalui malaikat jibril untuk menjadi nabi Muhammad sebagai rosul? Apakah tertulis! Sekolah memiliki hak kuasa penuh dan wewenang tinggi untuk menurunkan SK tertulis atau tersirat. Melalui tersirat sudah cukup jelas, lembaga membiarkan kami menulis demi menyalurkan gagasan tentang polemic dunia ini. Dengan tanda “membiarkan” memiliki arti bahwa cara yang dilakukan warga Kokkonang adalah manifestasi buah pemikiran seorang intelektual dan cendikiawan terkemuka. Bukan artinya “membiarkan” dalam bentuk tidak peduli pada gagasan kami sehingga apapun ide-ide kami tak pernah dihargai melalui apresiatif-positif. Kata itu adalah sebuah makna tersirat dari perwakilan lembaga dalam bentuk apreseasi bagi warga Kokkonang telah mengisi keilmuan lembaga. Tho, kalaupun kami dianggap “plagiator” apakah tulisan kami terdapat kritikan pedas pada pemerintah atau atasan sekolah? Kami tidak bermaksud melakukan tindakan konyol seperti itu yang dapat menghancurkan popularitas provisional warga Kokkonang sebagai agen keilmuan pesantren dan lembaga ini…”
            “Warga Kokkonang?”
            “Ya!”
            “Apakah pembicaraan kita ini bisa dianggap wawancara?”
            “Lho, memangnya apa kalau bukan wawancara”

                                                                        Gapura, 04 April 2017

*Terima kasih atas saran dan kritikan dari kalian. Semuanya sudah kami baca dan menjawab meskipun tidak berbentuk uraian pertanyaan. Dan mohon maaf untuk anak RMJ kami lancang meletakkan identitas kalian, bukan bermaksud negatif melainkan dapat menjadi gambaran bagi yang lain.

1 Response to "Mimbar Demokrasi"

  1. Slot Machine Jackpot Slot Machines - JTM Hub
    A large number of 당진 출장마사지 slot 고양 출장마사지 machine jackpot machines have been successfully produced. This page will help 부천 출장샵 you find out more about the 진주 출장샵 casinos you can play. 정읍 출장안마

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel