Kemerdekaan Jalan Berlubang
Kemerdekaan
Jalan Berlubang
Ketika itu, Marhasan kebetulan menyaksikan peristiwa aneh dalam sejarah kemerdekaan. Kamis penuh luka dan keringat para warga tiga desa: Gersik Putih, Gapura Barat, Gapura Tengah. Secara lumrah, penyambutan hari sacral 17 Agustus dirayakan di lapangan atau sekolah dengan berpakaian lengkap. Namun kali ini berbeda dari lumrah, perayaan dilaksanakan di jalan berlubang antara tiga desa. Para warga menjadikan momen ini sebagai protes kelalaian pemerintah. Wajar, apabila warga tiga tidak bergabung ke lapangan Gapura,mereka memilih merayakan upacara di jalan berlubang, sebab hampir 15 tahun infrastuktur jalan berjarak 5 kilometer antara Gapura sampai Gersik Putih bergelombang, sehingga menghantam mekanisme-tansportasi warga sekita atau pendatang.
Marhasan teringat pada desanya. Gersik Putih, seiring
berjalannya waktu tak lepas rekan sebayanya: di sekolah, pesantren, atau tempat
umum… menganggantungkan cacian, damprat, singgunan, omelan… pada hati marhasan
atas kondisi geografis jalan tansportasi
luka parah. Bahkan, ketika hujan mengguyur, air dari persawahan naik ke
permukaan untuk menutupi jalanan, sehingga banyak kendaraan mati dan lontaran
intimidasi pada kepala desa dan Bupati. Sesekali Marhasan menutup mata sembari
memegang dada, “Semoga Allah memberi hidayah pada pemerintah”
Sementara itu, hal sama dilakukan di desa Karangrandu,
kecamatan Pecogaan, kabupaten Kudus, Jawa Tengah melaksanakan upacra sebagai
simbol protes atas pencemaran sungai yang berindikasi limbah pabrik. Fakta
sudah berani angkat suara sebagai bentuk perlawanan terhadap tersamarnya
cita-cita bangsa yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Maka perlawanan
itu semua adalah bentuk “Demokrasi Langsung” dan “Demokrasi Ekonomi” sebab
hanya rakyat yang paham kondisi georafis-ekonomis sekitar. Rakyat hanya bisa “Merongrong”
seperti anjing kelaparan untuk meminta sepotong tulang agar mekanisme
kehidupannya tentram. Namanya juga”anjing” hilang otaknya, nafsuh di depan!
Apabila bantuan tak kunjung datang bersiap-siap rong-rongan menakutkan dan
gigitan menyakitkan pada majikannya. Namun sebaliknya, anjing akan menuruti
terhadap majikannya.
Apakah masih belum jelas terhadap pemberontakan Iwan
Fales, Taufi Ismail, Acep Zamzan Nor, Emha Ainun Najib, Abdurrahman Wahid… begitu
pedas menyentuh lidah dan sulit menemukan air penawarnya…
Potret semaca ini perlu juga dimusiumkan untuk menjadi
alarm keperintahan cucu kita nanti. Mereka bisa belajar pada sejarah
kakek-nenek moyang mereka. Maka cita-cita Soekarno tempo dulu dapat
direalisasikan dalam bentuk nyata yang termaktup dalam Pancasila. Selam ini,
kita berenang di lautan liberalisme dan hedonisme sehingga cita-cita bangsa
terabaikan. Misalnya, mereka memprioritaskan hak bangsa sebagai kewaiban individualistik
warga Negara, egoisme perebutan jabatan dan harta. Mestinya, mereka sedikit
lebih arif dalam mengkritisi kelemahan Negara. Patut direnungkan ungkapan Tere
Liye, “Jangan buat sempit cita-cita, mimpi-mimpi kalian. Generasi kalian
seharusnya tidak terikat waktu, tidak korupsi waktu, sebaliknya, kalian bebas dan
menentukan jam kerja sendir.” Artinya, Tere Liye menyuruh kita untuk
mengefesienkan waktu sebab umur manusia sangat sempit. Dan setiap waktu dapat
kita pakai untuk menghasilkan karya baru sehingga orang lain menikmati buah
pemikiran kita, bukan sebaliknya.
Marhasan mengikuti mekanisme upaca sampai selesai.
Kendati demikian, para warga berantusias meski panas menyengat. Upacara ini
diletakkan di jalan berlubang yang sangat parah yaitu, di sebelah utara “rumah
satu”-istilah warga sekitar- para warga beraneka ragam: pelajar, petani, Kiai,
tokoh masyarakat… semuanya berbaur menjadi satu seperti pelangi yang membuat
pemandangan baru setelah hujan deras. Nasionalisme pahlawan kembali hadir pada
warga untuk memprotes ketidakmerdekaan jalan.
Panas menyengat dan menidih kepala masing-masing.
Apalagi, ketika inspektur upacara menyalakan api semangat, sedemikian berkobar
hingga menjadi “Si Jago Merah” untuk melahap habis benda di dalamnya.
“Kita saat ini sudah bisa menyelenggarakan hari
proklamasi ke 72 tetapi, kemerdekaan ini belum kita rasakan. Mengapa? Karena
jalan yang kita tempati ini hampir 15 tahun tidak diperbaiki oleh pemenrinta
atau PT. Garam yang telah merusak jalan ini dengan lalu lintas truk yang
melebihi tonase 10 tahun silam. Jadi, saat ini kita sebagai pemuda harus berani
tampil di garda terdepan untuk menuntut pemerintah daerah atau PT. Garam agar
memperbaiki jalan ini. Bersedia!” ungkap Korlap Aksi M. Sukri
“Siap..!!!” riuh renda para warga.
“Tetapi saya belum bisa memastikan kesediaan
saudara-saudara ini. Sebab, upacara ini adalah upacara yang sebenarnya tidak
terjadi di jalan, seharusnya di lapangan dengan berpakian seragam. Tetapi saat
ini kita berpakaian ala kadarnya. Berarti menunjukkan bahwa kita belum merdeka.
Bahkan, hanya jalan ini yang belum diperbaiki oleh pemerintah. Jadi, kita harus
lawan pemerintah atau PT. Garam yang seharusnya mengeluarkan dana CSR untuk
jalan ini. Karena, pada tahun 2018 pemerintah pusat merencanakan tidak ada
jalan berlobang, jalan harus teraspal semua, jalan harus terpaping semua…
karena anggaran pusat sudah dikucurkan ke daerah-daerah. Kita berpanas-panasan
sebagi bukti protes pada yang berpihak. Ada tiga tuntutan yang perlu kita
jalani. Pertama, kita harus menuntut pemerintah daerah segera memperbaiki jalan
ini. Kedua, kita menuntut PT. Garam harus mengeluarkan dana CSR untuk
memperbaiki jalan ini. Ketiga, kita harus menuntut pemerintah kecamatan
memberikan arahan pada kela desa Gersik
Putih, Gapura Tengah, Gapura Barat untuk menyisihkan dana desa memperbaiki
jalan ini..”
“Betul.… Allahu Akbar..!!” serentak para warga.
Disusul dengan pembacaan doa. Kemudian komandan upacara
memimpin mekanisme acara.
“Tanpa penghormtan. Bubar barisan jalan”
Gersik Putih, 21 Agustus 2017
0 Response to "Kemerdekaan Jalan Berlubang "
Posting Komentar