Kendaraan Sosial dan Kendaraan Amal



 Kendaraan Sosial dan Kendaraan Amal

Setelah kesepakatan terjalin di rumahku. Esok harinya kami berangkat ke terminal untuk ceklis bis. Kami memilih bis Haryanto, sebab menurut kakakku bis ini melaju cepat tapi tetap pada koridor keselamatan penumpang. Akhirnya bis dijadwalkan akan berangkat jam 10.00. Tinggal menunggu seperempat pemberangkatan. Aku menyapu semua pandangan. Banyak orang dengan koper besar berhamburan seperti ayam menunggu makanan dari majikannya. Entah, apa yang dilakukannya, apakah hendak merantau juga? Entahlah, aku tak berani bertanya. Seolah kita Fifty fifty. Kami duduk di dekat tembok, sesekali melihat aneka wajah wajah yang tak kukenal sebelumnya. Aku melihat Marhasan sedang sibuk dengan gedgetnya, entah apa yang ditulis. Apa buat status di FB "OTW Jakarta" atau "Selamat tinggal Madura dan selamat datang Jakarta" aku tak tahu pasti, yang jelas dia buat status di akun pribadinya.
Berada di terminal  adalah sebuah perjalanan panjang yang sangat terjal. Untuk sampai pada tujuan, mesti memiliki kendaraan yang tepat sebab kendaraan bisa menentukam nasib manusia setelahnya. Memang kendaraan bukan Tuhan, tapi malaikat maut nyata di dunia. Aku jadi teringat pada akhirat, semua manusia dikumpulkan di Padang Mahsar. Nanti semua manusia akan melewati jembatan Shiratol Mustaqim untuk melanjutkan pada target perjalanan selanjutnya. Dalam perjalanan di jembatan banyak manusia terjatuh pada kubangan api yang menyala nyala. Untuk selamat melewati jembatan tajam, ada sebuah kendaraan namanya amal. Kendaraan inilah menjadi pilihan setiap insan, bukan mobil ataupun bis karena sudah berbeda zamannya. Apabila kendaraannya tidak di servis sebelumnya maka akan mengalami kecelakan. Bagaimana menservisnya? yaitu melalui perbuatan baik semasa hidup di dunia. Banyak orang merasa rugi, sebab kendaraan yang nantinya dinaiki akan mengalami kecelakaan. Ada juga, yang tidak memiliki kendaraan apapun, hanya berbekal keyakinan, gak ada gunanya juga. Ngeri rasanya aku bandingkan dengan kehidupan Padang Mahsar dan jembatan Shiratol Mustaqim. Aku pembanyak istighfar dan shalawat untuk keselamatan perjalan kami. Sementara, Marhasan masih khusyuk dengan statusnya. Ya, biarin aja. Mungkin dia lagi berdoa lewat statusnya yang diamini orang se dunia.
Sudah lebih se jam kami menunggu. Namun bis masih belum masuk ke area terminal. Rasa was was menyelimutiku. Apakah bisnya kecelakaan atau ada masalah lainnya. Sementara Marhasan masih saja pokus pada statusnya. Aku cuekin aja dia. Aku mencoba mencari katin tempatku menumpas dahaga  dan menghilangkan kegalauanku. Aku jelajahi jalan kecil area terminal. Mataku melihat berbagai hal, mulai berbagai bis, anak kecil menangis, ada juga sampai tertidur menunggu bis. Sampai Di belokan ke arah kantin aku melihat kakek-nenek duduk bersilah dengan pakaian compang-camping. Ternyata kakek buta dan nenek itu adalah istrinya. Aku mengamati dari kejauhan. Si kakek menengadahkan tangannya. Sementara si nenek jadi pemanduh pada si kakek. Kalau ada orang mau lewat si nenek menyinggul lengan si kakek, lalu tangan kakek menengadah untuk menerima uang recehan. Sebuah keharmonisan tersendiri untuk mencukupi keberlangsungan mekanisme-finansialnya. Aku jadi terharu atas kekompakan mereka. Mereka tidak menjadikan perceraian atas kondisi kemiskinannya sendiri, melainkan mencari solusi walapun dengan jalan mengemis. Aku tak habis pikir, mengapa di kotaku masih saja pengemis berkeliaran. Mana orang kaya, konglomerat, para dermawan? Uang hasil mengemis pun aku rasa tidak cukup dalam sehari, tho, yang memberi pelitnya melebihi bajunya sendiri. Jika seandainya, ada manusia berhati malaikat dan sekaya Nabi Sulaiman aku rasa tidak ada lagi pengemis mengaduh nasibnya di terminal atau jalan lalu lintas. Tak kuasa aku melihatnya, akhirnya uang lima ribu buat beli minuman aku berikan pada kakek itu. Aku berpikir ini adalah jalan untukku memperbaiki kendaraan amalku di akhirat. Selain akhirat, juga kendaraan sosialku di dunia.  
Sembari memandangi pengemis, pikiranku menjelajahi dunia khayalan. Aku berada di sebuah kendaraan bermerek sosial. Namanya juga sosial berarti hasil dari sosialku. Aku berada di kursi terdepan sementara di belakangku adalah orang yang pernah aku tolongi. Aku merasa bahagia sebab kesusahan mereka telah sirna, hanya tawa bahagia mengisi ruang kendaraanku. Kendaraan ini terus berjalan, namun apabila terlihat orang kesusahaan kendaraan ini berhenti seketika. Aku turun menemui orang itu, lalu membantunya menaiki kendaraan sosialku. Berbeda lagi dengan kendaraanku satunya, yaitu bermerek amal.  Adalah sebuah kendaraan made in Allah. Hanya  di akhirat aku bisa menaikinya. Aku bisa membawa orang tuaku, saudara, keluarga, bahkan orang lain. Kendaraan ini sebagai penentu nasib manusia ke Surga. Lengkap sudah kendaraanku. Tinggal menaiki saja.
"Subhanaallah" gumamku dalam hati.
Aku tersadar dari khayalku ketika orang menabrakku dari belakang. Aku urungkan  untuk membeli minuman. Terpenting adalah bisa membatu sesama makhluq Tuhan. Kemudian aku kembali lagi tempat di mana Marhasan sibuk dengan statusnya.
Setelah sampai. Ada lagi seorang pengemis menghampiri kami. Tubuhnya tidak cacat seperti pengemis yang baru aku lihat. Hanya saja pakaiannya compang camping tak karuan. Maklumlah, namanya juga pengemis perwatakannya seperti itu untuk menarik belas kasihan orang. Orangnya seukuran bapakku, dari umur dan bostur tubuhnya. Jadi kangen bapak di Jakarta. Pengemis itu menghampiriku dengan menengadah kedua tangannya. Aku berikan saja uang sepeluh ribu. Si pengemis mendoakan keselamatan, kerezekian, kelancaran, dan terpenuhi hajatnya. Aku ucapkan saja amin sembari tersenyum. Namun setelah giliranku selesai, Marhasan malah mencuekinya, malah bilang gak ada. Lalu, pokus lagi pada gedgetnya. Aku tak habis pikir sikap temanku. Apa mungkin emosionalitasnya sudah hilang? Cinta makhuluqnya juga sirna? Mengapa tidak sebarkan senyum minimal, bukan cuek habis dilebarkan! Aku baru sadar mengapa temanku aneh seperti ini, karena dia punya alasan tertentu yang tak bisa dijangkau logika sepertiku. Tidak hanya sekali dia bertingkah konyol, tapi setelah aku tanya masuk akal alasannya. Manusia macam apa dia?
"San, kok kamu tidak memberi uang pada pengemis itu?" tanyaku di sela-sela kesibukan Marhasan.
"Sudah ladenin semua para pengemis se dunia" jawab cuek Marhasan sembari memencet layar hpnya.
"Ini serius, San?" bentakku sembari mengambil hp di tangan Marhasan.
"Oke, akan kujawab, tapi nanti kembalikan hpku"
"Iya, pasti aku kembalikan!"
"Coba kamu bandingkan antara pengemis barusan dengan pengemis kakek buta persimpangan dekat kantin. Beda tidak? Tentu saja! Saya memaklumi kakek buta karena dia cacat, tho cari kerjaan manapun pasti ujung-ujungnya ditolak. Maka melalui mengemis kehidupan finansialnya terpenuhi. Bagaimana dengan pengemis barusan. Tubuhnya sehat, masih berotot, namun masih saja mengemis. Kalaupun mencari lowongan kerja masih ada yang mau menerimanya..."
"Sebentar dulu, San?" potongku. "Bukannya kita diajari bahwa memandang kesusahan jangan pilih-pilih. Namanya juga susah! Ya, tentu kita mesti menolongnya?"
"Kamu pintar tapi tidak cerdik.Kita mesti cerdik memilih. Mana susah benaran dan susah-susahan. Nanti kamu bakal paham sendiri melihat pengemis metropolitan. Dilihat perwatakannya seperti miskin beneran. Eh, tahunya punya ATM miliaran rupiah. Apakah dikatakan miskin lagi? Tidak 'kan! Mayoritas pengemis kota bertubuh sehat, kalaupun cacat, ya dicacat-cacatin. Pengemis menjadikan bisnis untuk meraup keuntungan besar. Mengapa tidak mencari lowongan, misalnya? Karena lowongan saat ini sangat sulit untuk didapat. Bahkan, untuk masuk perusahaan saja ada uang suapnya. Iya, kalau tidak tertipu nantinya, bagaimana sebaliknya? Maka melalui mengemis, jalan masuknya uang lancar. Coba kamu banyangkan berapa uang yang didapat, berjuta-juta tapi uang itu disimpan dalam bank tapi tidak dijadikan modal mencipta perusaan sendiri sebab mereka sudah paham melalui bisnis mengemis uang di depan mata"
"Tapi, San apa salahnya kita mencipta pahala melalui tangan kita di atas?"
"Tentu saja salah. Kita mencipta pahala bukan pada jalur yang tepat. Malahan kita berada dijalur yang salah. Iya, kalau hasil nantinya bisa dibuat bisnis lainnya dan meninggalkan mengemis. Pahala tetap lancar mengalir. Tapi sebaliknya, bagaimana kalau bisnis mengemis dijadikan alat untuk memperdaya manusia. Bukan pahala namanya, melainkan laknat."
"Husy... Jangan Su'udzhon kamu San?"
"Saya tetap khusnudzhon kok. Hanya saja fakta sudah berbicara melalui berita di media maupun televisi. Ya, terserah kamu. Mau ikut aku atau pengemis gadungan itu. Tapi balikan dulu ponselku"
Aku fakum. Tak ada bahasa lain melawannya. Aku terpojoki bahasa Marhasan. Ya, karena sudah perjanjian aku kembalikan ponselnya.
"Qiey, lihat ini, banyak mengatakan amin di status doaku" berkata marhasan sembari memperlihatkan statusnya dan ucapan amin ke wajahku. Aku tak menyangka dengan semua ini. Aku hanya bisa menggelengkan kepala saat dia pokus kembali ke gedgetnya.

Jakarta, 15 Oktober 2017

0 Response to "Kendaraan Sosial dan Kendaraan Amal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel