Mengaduh Nasib




Mengaduh Nasib


Suatu ketika Marhasan mengajak saya merantau ke Jakarta. Iya, mendengar kata "merantau" sudah jelas target manusia adalah "mengaduh nasib", bukan "mengaduh Allah". Jakarta adalah wadah pengaduan manusia pada materi, seolah Tuhan telah berubah wujudNya. Tanpa materi manusia merasa makhluq yang sia sia, tak berguna, naif... Hanya tuhan materi yang dapat menghibur lara dan air mata, dari mata air kemiskinan. Seperti itulah, potret hedonisme perantau. Uang menjanjikan keberlangsungan hidup yang tentram, sehingga tak menutup kemungkinan manusia dijadikan bergantung pada Jakarta. Namanya saja " bergantung" salah bertingkah sewajarnya pasti tali gantungan akan mencekik leher manusia. Tak hanya sekali pengaduan nasib tak berjalan sebagaimana hajat awalnya. Mungkin saja mengaduannya kurang khusyuk sehingga tuhan materi tidak memenuhi permintaannya, melainkan menguburkan harapannya di bawah jalan raya. Makanya, menyandang titel "perantau" susah gampang. Kesusahannya terletak pada kegagalan dalam merantau. Kegagalan adalah wajar, tapi kegagalan itu sebagai gerbang kesuksesan meneruskan estafet stereotip perantau nenek moyang Madura.
Saya tak habis pikir dengan keputusan final Marhasan. Apakah hanya Jakarta hidup manusia terpenuhi secara finansial? Saya rasa tidak! Karena rezeqi Tuhan berhamburan di muka bumi. Jakarta hanya sebagian kecil rezeqi Tuhan . Tapi mengapa manusia makro memilih Jakarta? Bahkan desa tempat tinggalnya penuh kekayaan dibiarkan begitu saja. Ini 'kan aneh cerita. Mengapa tidak mengaduh saja pada desanya sendiri untuk dijadikan kaya raya malah mengaduh ke tanah orang? Memang sudah jadi kebiasaan orang Madura merantau ke tanah orang. Tapi nenek moyang Madura bukan seperti sekarang, melainkan merantau dijadikan sebagai meraup ilmu agama atau batin. Masalah rezeqi sudah ada yang nanggung. Artinya, desanya sendiri sudah berhamburan kekayaannya. Ya, tinggal dipilih aja. Buat apa merantau, tho, desanya sudah mencukupi secara finansial. Itulah, trandisi yang dimaknai salah orang sekarang. Merantau bukan bertujuan untuk mempertajam keilmuan namun meraup rezeqi dari tanah orang.
Kalau saya berpikir antara Jakarta dan Madura sama saja dalam hal materi. Mengapa Jakarta unggul dari Madura? Karena geografis Jakarta adalah kota pendidikan dan industri. Coba Madura seperti Jakarta 'kan kelihatannya sama. Hanya saja stereotip orang Madura sukanya merantau, coba seandainya dikembangkan sendiri. Saya yaqin hasilnya jauh melebihi Jakarta. Madura yang kita kenal sangat kaya, mulai dari adat, pariwisata, makanan khas, kekayaan laut, kekayaan alam... Semua itu berindikasi bahwa Madura lebih Jakarta dalam sektor kekayaan. Namun, semua itu hampir diambil pihak investor dan kapitalis sehingga orang Madura tidak memiliki peluang lapangan kerja untuk meraup kekayaannya sendiri sehingga merantau adalah jalan satunya mengaduh nasib.
Kalau Madura ke-kota kota-an ada, seperti desa Poteran dan Gersik Putih. Dua desa itu efek dari merantau ke Jakarta. Mayoritas penduduknya merantau dan meninggalkan rumahnya sendiri, ada yang tak berpenghuni atau hanya tinggal kakek dan neneknya saja. Lebih menariknya lagi menurut saya adalah saat mudik, desa tempat tinggalnya dijadikan macet dengan kendaraan bermobil seolah seperti Jakarta saja kemacetan yang disiarkan berbagai televisi. Kedatangan mereka sudah berubah dari biasanya - tapi adakalanya tidak. Semua tergantung pada dirinya sendiri, ibda' binafsi' - contoh kecilnya dilihat dari bicara ala kota "gue-loe" kelihatannya bagus sapaan itu, tapi perspektif Madura menyalahkan, sebab bahasa sapaan asli Madura dihilangkan seperi "kaule-panjenengan" hal itu masalah sapaan saja, bagaimana kalau keseluruhan. Tak menutup kemungkinan bahasa khas Madura tergantikan bahasa lain. Pulaunya Madura, bahasanya ala Jakarta. Jadi lucu ceritanya.
Ada lagi efek merantau adalah uang hasil jerih payah bergadang sehari semalam diberikan melalui jalur yang salah. Biasa para perantau membuat suatu komunitas yang nantinya pada akhir tahun merayakan dengan orkes. Ada lagi, uangnya ditabur pada dayang dayang cantik saat acara Tanda'. Ini namanya subhat ( buang uang bukan jalurnya) bagaima coba buat komunitas lebih manfaat pada diri sendiri dan orang lain, misal saja komunitas santunan anak yatim, fakir miskin, atau sosial.. Kan kedengarannya manfaat dibanding dengan komonitas tersebut. Atau, alangkah baiknya, jika uang itu untuk modal di Madura! 'Kan Madura tak sepi penduduk dan tak ubahnya dengan Jakarta. Tapi, apa mungkin semua pemikiran para perantau seperti itu? Entahlah!
"Qiey!"
"Iya!"
"Jadi 'kan ikut ke Jakarta?"
"Jadi?"

Jakarta, 11 Oktober 2017

0 Response to "Mengaduh Nasib"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel