Mencoba Mendialogkan Oraganisasi dengan Komonitas


Mencoba Mendialogkan Oraganisasi dengan Komonitas
          
  Ini adalah program ekslusif komonitas Kokkonang pertama kalinya meski baru kemarin silam dirintis, tapi perlu melebarkan sayapnya seperti komonitas dan organisasi lainnya. Artinya, metodeloginya tidak lagi bersyiar di belakang monitor akan tetapi secara terang-terangan harus tampil di layar kaca kehidupan. Maka terealisasinya study banding adalah bentuk terciptanya gapura (gerbang) bagi khalayak ramai untuk menggali keilmuan.
            Awal dari semuanya. Acara ini timbul dari persepsi intelektual-emosional Juha melalui ilusi pesantren berada diambang kehancuran. Pesantren yang dikenal publik adalah tempat sakral dan sumber pemahaman agam luhur. Seolah-olah hal itu bukanlah misi utama sebab pabila diklasifikasikan lebih unggul keburukan daripada kebaikan. Amar ma`rufnya ditenggerkan di pohon mangga sementara maksiat dibiarkan berkelana. Maka direalisasikanlah oleh Marhasan atas pemikiran cemerlang Juha untuk mengadakan acara study banding komonitas dan organisasi dengan tujuan dapat melangsungkan infrastukur pesantren lebih efektif, kolektif, harmonis dan sosialis. Disebarlah undangan pada semua elemen pesantren diminta kehadirannya dan mendelegasikan dua anggotanya. Elemen tersebut terdiri dari Edensor, FOKSGIN, Tunas PPGP, CKP, Angan, Gema Taruna, GMD, Parao, ABATASA, Islah, RCR Error, IKSNAST, Reggae. Dari aneka ragam elemen adalah bentuk pertahanan perang untuk melawan individualisme, kapitalisme, dan hedonisme.
            Suara riuh renda. Malam menjadi saksi atas terselenggaranya acara study banding pada malam senin di amper masjid Baitus Salam bagian selatan. Marhasan ditakdirkan menjadi pimpinan umum mewakili para Kokkonang untuk membuka acara dengan simphoni puisi puji pada Tuhan Maha Esa serta Sholawat atas kekasih tercintaNya. Nabi Muhammad Saw. “Saya ucupkan banyak terima kasih pada semua elemen pesantren meluangkan waktunya untuk mengahadiri acara ini sekedar sapa intelektual dan membaca geografis pesantren. Selanjutnya, saya minta maaf sebab hidangan yang disajikan tidak memuaskan. Bukannya kami tidak sanggup tetapi kami ingin mengajak kalian berfikir kritis. Kalau hidangan kami buat istimewa maka hari-hari selnjutnya tidak ada acara seperti ini lagi. Begitu sebaliknya hidangan kami buat sederhana sehingga logika kami berjalan bahwa mengenai hidangan harus lebih baik dari sebelumnya.”
            Tepuk tangan mengisi ruang sunyi. Suasana menjadi hidup. Marhasan melanjutkan pembahasannya. “Kami mengundang semua elemen pesantren tidak ada sebutir debu niat buruk, usur SARA, su`uzhon... melainkan kami ingin menjalin silaturrahmi, komonikasi, dan memperbaiki infrastruktur pesantren sat ini. Komonitas dan organisasi adalah badan otonom pesantren, atau saya istilahkan dengan tangan kanan dan kiri pesantren. Sungguh sangat istimewa porsi ke duanya apabila tidak keluar dari doktrin agama dan kepesantrenan. Ke dunya sudah popurel sejak dahulu. Pada tahun 2011-waktu saya masih baru mondok-semua elemen memiliki skil masing-masing dalam mensejahterahkan pesantren misal Edensor melalui skil intelektualis dan dealektisnya. Tunas PPGP melalui skil persaudaraanya dan lain-lain. Saya melakukan observasi-survei bahwa elemen-elemen sekarang fokus pada gerakan fifty-fifty, lantas jangan mengaharap pesantren mengalami transformasi?”
            Marhasan menghentikan pembicaraan sekedar memberi peluang bagi audien untuk berfikir dan membaca realita. Kemudian Marhasan menarik nafas dan melanjutkan kembali. “Sekarang kita sudah sampai pada keburukan dunia. Banyak aliran baru dan sesat mempropokatori hancurnya pesantren. Seolah-seolah pesantren dikepung dari berbagai sudut, kalaupun akan lari. Mau lari kemana? Ya, jalan yang harus kita tempuh adalah melawannya. Saudara-saudara se agama kita sudah terkontrol kaum komonis, dengan leluasa mereka mengadu dombakan islam pada setiap line kesempatan. Contoh besarnya, di Mesir terjadi peperangan, Afganistas sudah hancur, Palestina apa lagi...! sementara Indonesia menjadi incara terakhir. Anehnya, mereka berperang bukan mengikuti tradisi Nabi melainkan berperang melawan saudara sendiri sedangkan dibalik monitor para komonis menyutradarainya. Kembali pada konsep negara kita, mengapa Indonesia menjadi incara terakhir dan sulit diporak-porandakan? Karena negara Indonesia sangat kental dengan kultur kepesantrenan. Salah satu bukti kelompok tercatat dalam sejarah sebagai gerakan merdekan dari kalangan pesantren. Karena pondasi terkuat yang dimiliki Indonesia ialah pesantren. Pabila pondasi tersebut roboh maka robohlah negara kita dan kaum komonis dengan leluasa membabi buta negara ini. Mari kita lihat di pesantren Nasy`atul Muta`allimin banyal gejala individualis dan sosialis yang perlu kita atasi, di antaranya alpa di sekolah dan Ghazab sandal. Masalah ini nanti akan dibahas pemateri kedua. Saya Cuma berpesan jangan pudarkan eksistensi kepesantrenan dan kerohanian.”
            Tepuk tangan membahana kedua kalinya. Marhasa memberi isyarat kesiapan pada Juha, lalu ia mengangguk. Juha menyapu ruangan sembari menatap lekat-lekat wajah para audien. Seraya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan bersamaan rasa gerogi, takut, malu... suasana hening seketika. Para audien menunggu lontaran kata mutiara Juha. Waktu terus saja mencekam bagi seseorang yang tidak memanfaatkannya. “Saya ucapkan terima kasih pada Marhasan atas waktu yang diberikan. Al Waktu Kassyaif. Waktu adalah pedang. Barang siapa tidak memanfaatkan waktu maka ia akan memenggal lehermu. Itulah sekilah wejangan keilmuan bagi kalian. Melanjutkan pembicaraan Marhasan, saya awali dari pesantren dan sekolah. Mari kita lihat relasi pesantren dan sekolah Saya ibaratkan tubuh dan nyawa. Apabila terpisah terpisah antara salah salah satunya maka sulit mengalami revolusif kecuali takdir berbicara. Adanya lembaga dilatarbelakangi terbentuknya pesantren. Pesantren dulu baru lembaga, bukan sebaliknya. Pesantren akan malu ketika santri bermasalah di lembaga. Apakah dari semua elemen ini sadar atas apa yang dilakukan anak didiknya di sekolah? Kalian menyelidikinya! Perlu disadari lembaga mengklaim miring terhadap pesantren, seolah-olah pesantren kehilangan kesakralannya sebab ulah para santri sekarang. Perlu dicatat bahwa para santri terlalu amoral dan alpa di luar batas sehingga keluar dari stereoti pesantren. Secara formalitas pesantren memberikan pemahaman agama dalam jiwa para santri tapi apakah ini diaplikasikan? Kalau saya membaca melalui kaca mata emosional santri perlu dipertanyakan. Apakah Bhau santre atau santre bhau (Red: harum santri atau buruk santri). Makanya kami mengundang semua elemen pesantren untuk bekerja sama dalam mensejahterahkan pesantren menghapus kritik buruk lembaga. Mari kita fungsikan organisasi dan komonitas jadikan sumber edukatif-positif untuk melahirkan kader pembela agama dan bangsa. Salah satu penunjangnya adalah menerapkan peraturan dan sanksi dalam mengatasi alpa, lebih-lebih berkopenten membantu infrastruktur-positif pesantren. Ironis sekali kalau elemen dibutakan oleh anak didiknya. Katanya patriot pesntran, benteng pesantren, pendekar pesantren dan sebagainya tapi masalah sepele kalian tidak bisa mengatasinya.”
            “Selanjutnya hubungan dengan individualis-sosialis. Apakah semua elemen ini jelas visi dan misinya, atau Cuma-Cuma hura-hura dan santai-an? Saya lihat masih mengambang. Kalian terlalu primitif dalam mengelola mekanisme planing sampai masalah ghazab tak terpikirkan. Hal ini sudah membudaya di pesantren manapun. Ini perlu kalian masuk dalam agenda dan peranturan organisasi juga komonitas. Maka dari itu, mari bersama-sama berkopenten, kolektif, bekerja sama dan sama bekerja mensejahterahkan pesantren dengan cara meluruskan niat awal kita mondok yaitu Nawaitul mencari ilmu. Kita ajak anak didik kita untuk memakai sepatu Lailahaillah kemudian berjalan di jembatan Shiratol Mustaqim agar jelas peran elemen pada mekanisme pesantren.”
            Juha berhenti untuk senyum sumringah yang menjadi isyarat pengembaraan intelektualnya sudah selesai. Juha menyuruh audien untuk memberi saran dan usulan dalam mensejahterakan pesantren. Dari sebelah barat ada seorang pria berpostur panjang, gagah dan tak asing lagi wajahnya. Ia namanya Fauzi alumni pesantren Nasy`atul Muta`allimin sekaligus delegasi dari komonitas ABATASA. “Persaingan ke depan semakin ketat. Saya meminta pada semua elemen berpartisipasi mengikuti persaingan tapi yang positif, atau saya memakai istilah al-Quran Fastabiqul Khairat. Berlomba-lombalah dalam kebaiakan. Artinya, semua elemen menyandang kata “manfaat” dalam setiap komponen elemen masing-masing. Bisa dibuktikan melalui agenda-agenda  seperti diskusi, debat, problem solving, sharing, dealektis, paper, buletin dan sebagainya. Akan tetapi semua elemen sekarang bersaing negatif seperti membuat kaos antar per-elemen lalu dipamerkan kepublik oleh karena itu mari kita bersama-sama menyatu dan bersatu dalam memperbaiki pesantren ini. Bersikaplah sosialis bukan individualis.”
            “Setuju. Setuju. Setuju.” Serempak riuh rendah
            “Kesimpulannya, kalau kita ingin diakui santri oleh almaghfurlah K. Zubairi Marzuki maka mengabdilah dengan sungguh-sungguh, tak usah memandang ini dan itu. Terpenting kita taati semua menejemen pesantren dan ikutilah perintahnya.” Tegas Marhasan sebagai simbol berakhirnya acara.
            Waktu menjadi saksi bisu dan hewan jelata menjadi simphoni kesyahduan. Acara berjalan dengan yang di harapkan. Lepaslah semua beban di punggung tinggal mengaplikasikan ilmu telah didapat. “Semoga jerih payah kita dinilai ibadah oleh Allah.” Gumam Marhasan dalam hati.

Gapura, 05 Februari 2017

0 Response to "Mencoba Mendialogkan Oraganisasi dengan Komonitas"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel