Ismail Hasan Pada Tahun 2017
Ismail Hasan Pada Tahun 2017
Seorang teman Marhasan bernama Juha menggerundel terus pada pertemuan rutin komonitas Kokkonang.
“Kamu kok ngedumel terus” kata Marhasan sebel “Nanti kamu kesurupan jin, baru
nyadar!”
“Siapa kesurupan. Saya Cuma
memikirkan bagaimana situasi menjadi ini”
“Apanya yang ini dan bagaimana.
Jangan berfilsafat”
“Kalian lihat ini dengan mata
nurani,”kata Juha sembari menepuk-nepuk keramik pesantren. “dalam benak kalian
akan menimbulkan wacana Bagaimna nasib
pesantren dalam sepak terjal ekslusif-singuaris islam. Saya berani
mengatakan bahwa pesantren ini semaput dalam segi keilmuan dan peradaban.
Deklarasinya cukup drastis. Ini menjadi problem besar yang harus diatasi. Ibaratkan
penyakit, apabila masih mengendap akan berdampak fatal bagi mekanisme
kehidupan.”
“Sok intelektualis-psikologis aja
kamu, Ha..!” sahut Sugember dari samping.
“Hehehe... masih lelang tapi tak
kondang”jenaka Juha. “mari kita renungkan tentang sejarah pola pikir edukatif
dan emosional. Dulu masa kepemimpinan Ismail Hasan pesantren Nasy`atul
Muta`allimin mencapai puncak keemasan seperti yang ditorehkan dalam sejarah
ketika islam dipimpin oleh Harun Ar-Rosid dari kalangan Dinasti Abbasiah
menduduki porsi keemasan dan kejayaan dari segi peradaban dan keilmuan. Banyak
ilmuan muslim yang tercatat oleh tintah emas sejarah sebagai bentuk manifestasi
kejayaan islam seperti: Ibnu Sina, AL-Faraghani, Al- Khawarizmi, Al-Farabi dan
sebagainya. Namun ketika sampai pada puncak tertinggi islam mengalami deklarasi
sehingga islam sekarang tidak bisa mengejar ketertinggalan, sementara
orang-orang kafir semakin hari semakin berlari. Lha, di pesantren ini logat
kepemimpinan saudara Ismail Hasan sama dengan kepemimpinan Harun Ar-Rosid.
Manifestasi itu semua, pesantren Nasy`atul Muta`allimin menjadi kiblat-nya
pesantren se- Timur Daya. Semua komponen pesantren meniru keilmuan dan peradaban pesantren ini. Tentu
kalau kalian hidup pada masa Ismail Hasan, saya yakin kalian akan terkagum
kagum dengan prestasi yang diarihnya, baik dari keilmuan dan peradaban (etika)
seperti: menerbitkan buletin Qolbun-sekarang sudah tiada-, organisasi pesantren
diprioriskan dengan organisasi daerah, mencontohkan akhlaqul karimah pada
bawahan, menjadikan pengurus berperan semua dalam hadiran, dan bahkan yang
sangat menarik bagi saya ketika dia memukul santri bermasalah pasti dia
menangis dan minta maaf. Setelah saudara Ismail Hasan turun jabatan dan kembali
ke rumah asalnya di Pasongsongan. Pesantren ini mengalami deklarisi-drastis”
berkata Juha tak kuasa membendung air matanya.
“Berarti pengurus sekarang perlu
diurus”sontak Dul Haddat.
“Husy... jangan sok menyimpulkan.
Kalau terlalu salah, nilainya sama dengan fitnah,lho!”tegas Dolali saudari
Ladola.
“Terserah kamu..”jawb Dul Haddat. “saya
hanya melontarkan sejujurnya apa yang saya rasakan dan pikirkan”
“Jujur saja tidak cukup. Harus juga
benar”
“Perhatikan... silahkan kalian baca
kepemimpinan sekarang. Pengurus adalah sentralnya kiai. Tangan kanannya kiai.
Kalau pengurusnya beramasalah maka tangan kiai harus diaborsi. Karena masalah
adalah sumbernya penyakit, dan pada setiap penyakit ada efek sampingnya
masig-masing. Masalah terus merajalela, wassalam kiai dan pesantrennya”
“Aku setuju dengan persepsi Ladola.
Masalah semakin bertambah bermasalah, tapi perlu penanganan intensif agar tak
merugikan pada setiap komponen kehidupan. Pesantren bukan sarangnya masalah
melainkan sarangnya solusi. Ketika santri hendak mondok, pasti dalam dirinya masih
kental predikat “Nakal” namun pabila masuk atmosfer pesantren, ia akan terobati
melalui pemahaman agama. Ini namanya, pesantren adalah psikolog islami”
Suasana semakin memanas. Juha tak
bosan-bosan ngedumel sampai larut
malam. Kembali pada kepemimpinan Ismail Hasan. pesantren ini dalam keadaan
optimal. Apa yang kurang dari kepemimpinan Ismail Hasan? pasti ada, namun
adanya tertutupi oleh prestasi dan kejayaannya. Lihat sendiri dari sudut prifat-nya, selain berwibawa dan selalu
intropeksi diri sebelum bertindak, atau memakai istilah prinsip saya “Berpikir
seri kali sebelum melangkah” kenapa? Karena
Jalan kita lalui sangat panjang dan beraneka ragam rintangan akan
menghadang. Kapan dan di mana? Kita hanya bisa mengasumsi takdir Tuhan, sementara
akal kita terbatas seperti bola cukup sampai di situ, tidak akan menjadi
sebesar bumi.
Pemimpin ada dua. Ada pemimpin
idividualis dan sosialis. Diantara keduanya yang dominan dari segala pemimpin
adalah invidualis. Banyak manusia kalah terhadap yang dipimpinnya, sehingga
tidak menutup kemungkinan manusia bukan memimpin melainkan dipimpin, karena
pemimpin invidualis musuhnya abstrak yaitu nafsuh kita sendiri sementara
pemimpin sosialis, semua orang bisa memimpinnya karena bersifat struktural seperti
ketua organisasi, ketua komonitas,ketua pengurus, kepala desa... oleh karena
itu, berhati-hati adalah tujuan utama hidup di dunia sebab apa yang kita
lakukan, nanti akan persentasikan dihadapa Tuhan.
Allah
sudah mengonsep manusia di bumi sebagai pemimpin. Bukan sembarang makhluk,
Allah meletakkan manusia di bumi berpredikat pemimpin. Ada rahasia besar Tuhan
yang tidak mampu dijangkau manusia. Kenapa Allah idak meletakkan malaikat
sementara malaikat lebih patuh dan taat dibanding manusia? Karena manusia mempunyai
otak untuk berpikir dan menganalisi sehingga terbentuk suatu keilmuan dan
peradaban. Mungkinkah malaikat bisa seperti itu? Malaikat hanya bisa bersujud,
bertasbih, dan memuji. Kalau pun misalnya malaikat bisa seperti manusia, itu
namanya malaikat manusiawi. Maka dari itu, kita sebagai santri harus
berpredikat “Siap” menjadi pemimpin dalam segala aspek tapi bukan tujuan
bermaksiat kepada Allah. Pemimpin itu ladang kreativitas dan akan membuat kita
cerdas, maka dengan mempimpin intelektuan dan emosional sejalan dengan
skillnya.
Siangnya
ketika Juha tidur ngorok karena
frustasi, tak sengaja Marhasan menemukan kertas seperti tulisan esai.
Astaghfirullah,
eh Alhamdulillah. Rupanya diam-diam Juha bikin persiapan agendan intelektual,
meskipun tak akan dipublikasikan di depan santri tapi dia memiliki niat yang
bersih seperti bersihnya kaca tanpa noda.
Tapi
menarik juga esai fiktifnya Juha. Judulnya “Ismail Hasan pada 2017” dia
membayangkan Ismail Hasan hadir di tengah-tengah panasnya konflik pesantren. Ismail
Hasan hadir tiba-tiba tanpa ada undangan- maaf bukan Jalangkung, bisa diartikan
malaikat- ia akan mengubah infrastruktur pesantren yang buruk menjadi lebih
baik, terjaga citranya dan senantiasa menjadi ketua pengurus lagi. Maka
pesantren tidak akan semaput lagi. Siapa yang tidak mengaharapkan pemimpin yang
arif, bijaksana dan bertanggung jawab untuk mengembalikan citra kepesantrenan?
Nabi Saw dinanti kehadirannya di tengah-tengah gejolak pertikaian dan
pertengkaran saudara se agama. Bukannnya saya bermaksud mengklaim buruk
kepemimpinan sekarang, setidaknya setengah meniru logat kepemimpinan Ismail
Hasan, baik dari segi kepemimpinan individualis dan sosialis. Ironis sekali
apabila kita renungkan hadist Nabi Saw “Di akhir-akhir kiamat, Allah akan
mengangkat pemimpin dholim. Pemimpin yang mementingkan hawa nafsuhnya dan sesat
menysatkan.”
Marhasan
mungut-mungut, kalau tidak disangak pilih kasih teman, ingin Marhasan
memberikan kado spesial untuk Juha sebgai ganti buah pemikiran cemerlangnya.
Ggapura, 29 Januari 2017
*Tulisan ini tidak bermaksud untuk
mengklaim buruk melainkan sebuah jalan untuk menjadikan pesantren lebih baik.
0 Response to "Ismail Hasan Pada Tahun 2017"
Posting Komentar