PERDEBATAN PARA KOKKONANG TENTANG DUA LEMBAGA

PERDEBATAN PARA KOKKONANG TENTANG DUA LEMBAGA
           
 Akhir-akhir ini semenjak usia senja Juha menimba ilmu di pesantren Nasy’atul Muta’allimin merasa waktunya menerapkan ilmu yang di dapat ketengah masyarakat. Mengingat saat ini terjadi persaingan tidak sehat antar masyarakat yentu butuh orang ke tiga yang memfilter itu semua menjadi persaingan positif. Fastabiqul khairat. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Tapi bukan hal tersebut membuat hati dan pikiran Juha gelisah, gundah, patah semangat melainkan setelah ia keluar dari pesantren ini harus melanjutkan ke mana ? kuliah atau nikah, juga nikah sambil kuliah ?
            Juha teringat tentang kisah asmara dengan seorang gadis pesantren yang terhalangi tabir-tabir kesucian.cinta yang bersumber dari langit adalah cinta suci dan tak ada sebutir debu pun rasa nafsuh dalam diri Juha pada pujaannya. Setiap malam tak lepas Juha menghias wajah pujaannya dalam bentuk puisi bak rembulan menentramkan hati seorang insan pabila melihatnya, seolah-olah majnun, Jalaluddin Rumi, khahlil gibran menyatu dalam dirinya. Banyak karya puisinya yang tetap ia simpan dalam buku dairy sebagai kenangan terindah dan terpahit kelak di pesantren Nasa. Saking menyatunya hati dua insan sehingga ter dengar ke telinga orang tua masing-masing. Juha merasa takut pada konsekuensi asmaranya nanti. Mereka bersepakat untuk mengikat hati asmara dua insan dirundung pilu dengan ikatan janji kesakralan yaitu pernikahan, sementara Juha masih belum mampu menafkahi lahir dan bathin keluarganya, ia punya tanggung jawab besar untuk melanjutkan menimba ilmu kejenjang perkuliaan dan meneruskan cita-cita, luhurnya, sedangkan pernikahan adalah jalan pupusnya sebuah cita-cita dan harapan besar. Menanggapi konsensus orang tua masing-masing Juha merasa dunia ini ibaratkan penjara sebentar lagi ia akan diexsekusi oleh hakim pidana, Juha ingin sekali memberontak kepada orang tuanya tapi mereka tetap kometmenpada perinsipnya dengan dibuktikan idiom salaman antar kedua kubu Juha dan pujaannya.
            Maka untuk mempermudah jalan yang dilalui Juha. Ia butuh orang ahli untuk mengobati rasa sakit hatinya dengan mengobrol bersama para Kokkonang pada pertemuan rutinnya. Kendali demikian, hatinya terpukul sehingga hampir dingaing hatinya menjadi puing kenistapaan.
            “Saya lebih baik mati dari pada menanggung beban dipunggung” berkata Juha sembari matanya berkaca-kaca.
            “Mati bukan jalan terbaik melainkan adalah jalan menuju kehancuran. Idiom-idiom neraka akan tampak dengan manifestai api menyala-nyala. Saya mengerti tentang psikologisme, kalau hal ini tak segera diobati akan terdampak fatal pada dirimu dan sekelilingmu” sanggah Dolala.
            “berarti butuh pakar psikolog,dong” celetuk Dolali.
            “Tak selamanya pakar psikolog dapat mengobati kegindahan Juha tanpa ada pendekatan emosi onalitas terlebih dahulu. Tapi kita  bisa menjadi psikologuntuk mengobati Juha asalkan ia dapat menerima argumen kita nanti”
            “sami’na waatha’na saja pada kalian” berkata Juha.
            Malam adalah sarana fasilitas berfikir dan berkontemplasi. Para Kokkonang menguras otaknya untuk mendapatkan jalan dari kegelisahan Juha melalui debat antar individu. Di luar area perkumpulan para santri bertanya-tanya, apakah para Kokkonang masih waras atau gila ? akirnya sebagian dari mereka ikut nimbrung bersama para Kokkonang yang saling menyalahkan pendapat lainnya.
            “Saya setujuh Juha segera menikah setelah keluar dari pesantren ini. Kita memahami menikah adalah tempat memperoduksi keturunan selain itu bisa diidentik sebagai ladang pengetahuan. Namanya juga ladang bisa ditanami aneka ragam sumber daya alam. Artinya, segala keilmuan yang ada di sekolah, pesantren dan perkuliahan sudah terkonsep dalam lembaga pernikahan. Semisal ilmu akhalaq di sekolah dipelajari teori sementara dipernikahan langsung praktek pada keluarga dan masyarakat, ilmu sosiologi di sekolah dipelajari teori sosialis, konflik masyarakat, lembaga struktural namun dalam pernikahan langsuk praktes sosialis pada keluarga, masyarakat dan mengetahui warna-warna konflik yang terjadi disekeliling kita. Secara keagamaan pernikahan penyempurna ubudiyah pada Tuhan...” berkata Dul Haddat memulai perdebatan.
            “Sebentar dulu...” Sanggah Marhasan. “dengan mencari ilmu setelah lulis dari pesantren ini juga mampu meningkatkan ubudiyah kita pada Tuhan. Mencari ilmu adalah kebutuhan primer dan menikah adalah kebutuhan sekunder. Rasulullah saja mewajibkan kita mencari ilmu sementara sunah untuk menikah, sebab menikah adalah kebutuhan sampingan orang mencari ilmu. Ketika kita sekolah setinggi-tingginya sampai mendapat gelar doktor, profesor,  magister, insinyur... maka tubuh dengan sendirinya mendorong kita untuk menikah. Seperti saya katakan kemarin ilmunya dulu kita dapatkan setelah itu wanita kita cari atau wanita mencari kita”
            Tak kalah serunya Sugember pun angkat suara. “pernikahan adalah lembaga pendidikan  yang mencakup lembaga-lembaga pendidikan di dunia ini. Jangan heran kalau realita berbicara orang menikah di usia dini bisa juga bersanding dengan para sarjana danjuga bisa menjadi pengusaha saham, penulis, esais, antropolog, perkuliahan menjadi itu semua atau bahasa kasarnya “sarjana cangkul” setiap harinya tak lepas ke sawah dan ladang” .
            Merasa diri Marhasan diinjak-injak, ia tak menerima itu semua. “lembaga dalam pernikahan tak sepenuhnya mencitrakan pada cita- cita. Artinya, lembaga tersebut terasa hambar dan berefek samping pada kebodahan. Kejurusan keilmuannya pun tak jelas arahnya sedangkan ilmu harus didapat melalui kefokusan intelektual pada kejurysan, hal itu menjadi manifestasi bakat dan minat manusia. Selama di sekolah otak dicekoking beragam ilmu pengatahuan lalu krtika kuliah otak akan dituntun minat dan bakat dalam dirinya untuk mengambil kejurusan tergantung dari kemampuannya. Makanya, dalam perkuliahan di kenal istilah “media kehidupan” yang mempelajari tentang mekanisme konflik sosial dan individualis. Sekedar intisipasi gejalah di lembaga pernikahan tentu kita harus paham terhadap konflik perkuliahan kemudian diqiaskan pada konflik pernikahan tidak jauh berbeda dari sebelumnya”
            Malam sangat senyap, tetapi terasa demikian riuhnya di telingah di dada Juha. Malam terasa dingin, namun terasa betapa hangatnya dalam dada Juha. Dia sungguh tidak tahu apakah pada saat itu dia merasa takut, marah, jengkek, ngeri atau apa.
            “para Kokkonang... saya hormati...” ucap Juha terbata-bata. “jangan marah ya... saya menghargai argumen kalian. Saya hendak dibawa kelembaga pernikahan atau lembaga perkuliahan itu terserah kalian, sebab tiada artinya saya hidup didunia ini. Diri saya hancur atau bahagia dalam lembaga yang saya pilih, tho tidak ada kaitannya pada kalian, belum tentu kalian memikirkan saya seperti ini lagi. Lembaga pernikahan atau perkuliahan sampai kalian mati-matian bertarung argumen menentukan pilihan pas dalam diri saya. Itu semua adalah idiom kecerdasan fisik dan fsikis dan tidak mungkin diantara lembaga tersebut mengajarkan kebodohan melainkan sebuah fasilitas mengenal alam dan hakikat Tuhan. Saya tak punya apa-apa, juga saya bukan milik siapa-siapa. Sama saja artinya bagi dunia ini saya ada atau tidak ada. Jadi saya pasrah pada kalian...”
            Para Kokkonang terpanah oleh kata-kata Juha. Suasana menjadi hening beberapa saat !
            “saya tetap mendorong Juha untuk berkuliah. Sebagai sahabat hati dan fikiran saya memahami arah alur skilnya.tentu keduanya butuh pengasahan lebih tajam lagi agar otak Juha memiliki ketajaman analisis dalam menangani konflik kehidupan. Kalau lulus MA langsung menikah maka masyarakat akan mengklaim PA ( pendek akal ) sementara bangsa butuh orang cerdas yang mengangkat martabat tanah air. Sudah lumrah, anak muda menikah diusia dini pasti jarang menafkahi keluarganya atau ia minta suapin pada orang tuanya karena bekal dalam dirinya bukan manifestasi pria sejati” celetuk Marhasan.
             Mendengar argumen Marhasan yang komitmen pada prinsipnya, Dul Haddat pun menyanggah. “dalam geografis perkuliahan saat ini adalah jalan menuju zina tidak menutup kemungkinan antar mahasiswa dan mahasiswi saling ML ( making love ),  bercumbu mesra, bergandeng tangan tanpa didasari pemahaman agama. Sementara geografis pernikahan adalah jalan dari haram mutlak menuju halal mutlak dan juga penyempurna iman dan ibadah dua insan.
            “untuk berantisipasi terperosoknya jalan perzinahan tak ada salahnya kita menikah sembari kuliah. Warna-warni konflik yang dilakukan istri mengambarkan konflik wanita perkuliahan dan menjadi tabir nafsuh kita melihat keindahan wanita yang bukan muhrim.” Tegas Dul Haddat.
            Juha merasa terpojoki kawan-kawannya, ia hanya diam sekedar mencerna dan memahami jalur pemikiran mereka. Ia masih menunggu argumen Tuhan untuk memulai perdebatannya.
Gapura, 05 maret 2017

* untuk sementara waktu penulis akan beristirahat sebab ada pekerjaan terpenting dari menulis edisi lagi. Akan dilanjutkan setelah penulis mempunyai kemampuan.

0 Response to "PERDEBATAN PARA KOKKONANG TENTANG DUA LEMBAGA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel