MEMPERTANYAKAN BHIGALAN SEBAGAI KESUBURAN PUBLIK ?
MEMPERTANYAKAN
BHIGALAN SEBAGAI KESUBURAN PUBLIK ?
Akhir-akhir
ini Madura tertimpa kasus yang menyerupakan isu belaka tapi beberapa sumber
antara fakta dan fiktif saling berdealektis dengan sengit. Saking riuhnya tanpa
kita sadari hal itu menurunkan kredibilitas daya juang Madura. Laju ekosistem
struktural menjadi objek sasaran orang asing-orang tanpa identitas-main
sendiri, kompetesi sendiri, kalah sendiri dan menang sendiri. Saya memandangnya
sebagai subnaratural materi sebab sudah membasi kalau disajikan dalam menu spesial
intelektual yaitu antara fakta dan fiktif beradu secara tidak sehat. Meskipun
data-data ditumpuk menjadi satu, namun emperis tidak ada maka data itu terbakar
sendirinya.
Publik saat ini digegerkan isu bhigalan. saya
mencoba memaknai dari sudut bahasa. Kata “bhigalan” berasal dari logat
lidah orang Madura, namun dalam logat jawa menjadi “begalan”, terus pada logat
orang jakarta pelosok menjadi “borongan” yang artinya pencurian massa, semisal
mobil, motor, uang, manusia dan lain-lain. Bhigalan di Madura dilakukan
sekelompok menoritas-materi yang memprioritaskan kemegahan dunia. Mereka
beranggapan tanpa uang yang mengharap hidup bahagia sebab uang adalah sahabat
setia dalam mengenai kenestapaan, kemiskinan dan perpecahan.
Fakta yang kerap kita jumpai di media sosial- khususnya Madura-
adalah bhigalan atau penculikan anak. Fakta ini berkembang pesat di
media sosial dan lontaran mulut tetangga. Efek samping dari isu ini adalah
orang tua dulunya terbengkalai kasih sayang pada anaknya kini mulai tumbuh dan
akan semerbak harumnya pada buah hatinya. Dari sisi lain, orang tua sekarang
sangat ketat dan disiplin untuk buah hatinya jangan sampai bergaul dengan orang
asing atau tidak di kenal. Imposibel, anak akan terkurung dan diperbudak
keinginan orang tuanya sementara dengan bermain kecerdasan anak akan meningkat.
Anak tereksploitasi hasrat orang tua sehingga mengganggu pada psikologi anak,
sebab dengan provokasi tersebut stereotip Madura pada generasi mutaakhir akan
terganggu.
Dari sekian data saya kumpulkan ada satu mengganjal dalam
benak saya adalah mengapa Madura dijadikan objek tragedi bhigalan ?
sementara masih banyak daerah lain yang jauh lebih unggul dari Madura, semisal
surabaya, jogjakarta, jakarta… saya memandangnya ada rahasia terpenting dari
tragedi ini. Saya mencoba menafsirkan menurut insentitas data dan analisis saya
sendiri.
Saya awali dari Madura, adalah etnis yang mengangkat
martabat diri dan apabila seorang menumbangnya dapat menimbulkan kekerasan
namun apabila dirawat menjadi kehalusan seperti benang sutra. Madura secara
kontekstual terdiri dari dua stereotip : kekerasan dan kelembutan. Dua
stereotip ini adalah sebuah bentuk dari proses perpaduan ekosistem kehidupan.
Dan stereotip tersebut harus berjalan secara bergandengan, kalaupun laju
mikanismenya masing-masing Madura terlihat hewan dungu dan bodoh. Ibarat singa
tanpa taring tidak akan melakukan perlawanan pada kejahatan dan tanpa “jinak”
singa itu akan mencengkram tanpa berpikirnya.
Pertanyaannya, kenapa tragedi di Madura ? saya berasumsi
bahwa tragedi ini adalah sebagai alat untuk menghilangkan stereotip kekerasan
di Madura. Karena, dengan adanya isu ini psikologi anak sebagai pemegang
estafet stereotip akan terganggu dan melemah. Maka melalui siasat permainan
tidak sehat melalui media social kejahatan yang terorganisir dapat mengalahkan
kebaikan yang tidak terorganisir. Orang asing akan leluasa keluar masuk tanpa
tanda kegetiran dalam tubuhnya. Madura yang kita dulu sebegai pembela kebenaran
namun beberapa tahun selanjutnya Madura di kenal sebagai kelompok mayoritas
yang diam (silent mayority), sedangkan kalangan provokator pada dasarnya
adalah minoritas yang lantang (spoken minority). Akibatnya, seolah-olah
kalangan provokator merupakan kelompok menoritas yang dengan muda dapat
membolak-balikkan keadaan. Apalagi mereka terkesan fokal dalam setiap
peristiwa, yang dapat membentuk konspirasi seakan-akan mereka adalah
satu-satunya manusia adidaya.
Saya teringat waktu kecil dulu, mendengar sebutan “bhigalan”
bulu-bulu kulitku merinding. Seolah-olah ada pancaran ketakutan yang menembus
sebersit cahaya keberanian. Suatu ketika ada orang asing lewat di samping saya,
sebersit dalam benak bertanya “siapa dan mengapa?” karena sudah tidak kuat lagi
menahan ketakutan, tubuh ini dengan sendiriya berlari menjauh dan bercerita
pada sekawan saya perihan orang asing. Semua menjadi takut, ada yang minta
antar untuk pulang ke rumahnya.
Mendengar dari teman-teman saya dulu, bhigalan di
identik dengan mobil jeep hitam. Dilihat dari mobilnya saja memiliki makna
tersendiri yaitu angker, misterius dan simbol kejahatan. Hitam adalah simbol
kriminalitas secara fisik dan fsikis, sebab warna hitam condong pada sesuatu
yang gelap sehingga makna tersiratnya adalah kebutaan terhadap eksistensi. Dan bhigalan
memfokuskan pada penculikan anak, bukan seorang maha siswa atau nenek lanjut
usia. Anak yang memiliki postur tubuh sehat tak tercampuri noktah narkoba atau
racun yang membuat tubuh idealnya tidak fiet lagi untuk diperdagangkan
ke rumah sakit dengan harga selangit dan kepalanya untuk dijadikan sesajin pada
penjaga pabrik gula sedangkan sekarang dalam suatu kabar dan media sosial bhigalan
makro menyamar orang gila, pengemis, gelandangan, peminta amal… sebagai
fasilitas pencuriannya. Untuk apa mereka menyamar seperti itu, sementara dengan
cara membawa kabur dalam mobil lebih efektif dan efesien kalau bukan ini semua
adalah horor bagi orang Madura untuk meninggalkan stereotip kekerasannya. Dalam
koran Madura isu ini adalah hoax (kabar bohong) sekaligus fitnah massa setiap
orang gila dan pengemis menjadi objek bhigalan.
Disinilah letak rancunya data sehingga antara data tidak
ada relasi penguat bahwa data tersebut adalah manifestasi actual dan logis
bukan sekedar horor bigi anak balita. Oleh karena itu, bentuk wujud isu ini
tiada lain sebagai akal-akalan orang asing dan tak bertanggung jawab pada
argumen tanpa disertai ilmiah dan empiris.
Menanggapi hal ini, saya mencoba berdialog dengan Marhasan
pimpinan para Kokkonang. Saya mengenal Marhasan enam tahun yang lalu. Ia adalah
manusia multidimensi dalam berpandangan, berdialektis dan berargumen. Saya
temui Marhasan sedang bercumbu mesra dengan puisinya di serambi masjid bagian
selatan. Saya menjelaskan prihal isu yang beredar secara signifikan. Kemudian, Marhasan
memandang ke langit hitam dan gerimis hujan. Marhasan memandang saya lalu
kembali memandang gerbang pesantren.
“Isu ini adalah kabar yang mengeksploitasi generasi Madura
agar lebih takut pada kejahatan. Madura dulu di kenal stereotip carok atau
kekerasan. Kita mengenalnya pak Sakera. Ia adalah tokoh Madura yang sensitif
pada gerakan kejahatan, apalagi sampai mengganggu martabat harga diri dan
identitasnya, maka tidak segan-segan untuk menumbasnya. Saat ini, hanya
minoritas generasi pak sakera melakukan perlawanan sebab pudarnya stereotip
carok dilator belakangi isu-isu belaka, bukan keberanian yang muncul melainkan
rasa was-was hidup dan mati menghantui. Isu ini akan berjalar pada psikologi
generasi Madura yang merobohkan tiang keberanian yang pernah di wasitkan oleh
pak sakera” ungkap Marhasan panjang lebar.
“Bagai mana kasus yang beredar di media sosial dan
lontaran mulut tetangga”
Marhasan memandang wajah saya, lalu memandang gapura(gerbang)
pesantren. “Apakah setiap realita tanpa didasari empiris dan ilmiah menjadi
faktual? Isu ini lahir dari pandangan orang luar Madura melalui media sosial
untuk memprovokasi generasi mutaakhir untuk meninggalkan stereotip Madura.
Sudah sejak dulu Madura menjadi incaran orang asing untuk menguasai seantero
dan khazanah ke-Madura-an. Saya menyebutkan ada pihak ketiga memiliki
kepentingan materialisme dan hedonisme menjadi titik temu isu bhigalan saat
ini. Pihak ketiga ini mensopiri laju ekosistem Madura untuk meninggalkan
stereotip kekerasan. Dengan cara permainan ini, Madura terpovokasi kejalan
kehancuran yang mengakibatkan terbukanya gerbang liberalisme ideologi dan
moralitas…”
Marhasan tetap menggerundel, sementara saya
memandang dengan senyuman atas buah pemikirannya memandang Madura masa depan.
Gapura,
03 April 2017
0 Response to "MEMPERTANYAKAN BHIGALAN SEBAGAI KESUBURAN PUBLIK ?"
Posting Komentar