Azimat Sing Penting Tenang
Azimat Sing Penting Tenang
Dulhaddat
mendadak muncul dari kesamaran lampu. Entah, apa yang diomongin! Tak ada
seorang pun menemani berbicara, sendirian berbicara dan berjalan tak ditemukan
pucuknya. Dari markas Kokkonang berbagai macam menfsiri ruang dimensi temannya:
ada yang sekedar tertawa terpingkal-pingkal, kegagalan mencapi puncak
Ma`rifatillah, wali, belajar gila pada Marhasan… ada ada saja multiinterpretasi
para Kokkonang. Akhirnya, melihat ketidaktentuan temannya di antara satu para Kokkonang
menghampirinya dan menarik tangannya untuk ikut ngumpul bersama teman lainnya.
Dia pun mengikuti.
“Kenapa kamu Dul? Saya lihat
berjalan sambil bicara sendirian. Bagaima jika tersandung. Tahu rasa kamu!”
bertanya Endu saking penasarannya.
“Tersandung katamu! Maaf saya masih
tak pakai kaca mata. Terus apa yang kamu tanyakan?”
“Waduh, ini orang! Ditanyain malah
balik bertanya. Pasti ketularan penyakit Marhasan?”
“Kok aku?” celetuk Marhasan.
“Siapa lagi di antara paka Kokkonang
yang aneh bin gila kalau bukan kamu!”
“Sudah-sudah!” potong Dolala.
“Kalian ngomong apa? Ngawur atau mengkhayal! Para Kokkonang ini adalah orang
berpendidikan maka bicaranya tentang pendidikan pula. Eh, malah menggosip Marhasan!
Apakah Endu berbicara secara ilmiah bahwa Dulhaddat ketularan penyakit Marhasan?
Kalau hanya lelucon sih boleh tapi ini bukan lelucon lagi melainkan mercon bagi Marhasan”
“Ya sudah saya mengalah. Lain kali
akan saya buktikan. Terus sekarang apa yang mau dibicarakan? Bagaimana
pendapatmu Dul `kan sedari tadi ngomong sendirian?”
Dulhaddat diam. Sunyi seketika.
“Kapan para Kokkonang bisa Taubatun Nasuha berjamaah?” Dulhaddat
mencairkan ruangan.
“Bukannya kita taubat secari
pribadi. Setiap selesai sholat tak lepas membaca Istighfar 70x. masih kurang
Dul?”
“Tentu saja. Sekarang dunia sudah
gawat darurat maka perlu bertaubat secara gawat”
“Gawat gimana Dul? Bukannya kita
sudah bertaubat secara gawat. Keistiqomahan membaca istighfar setiap hari berindikasi
kegawatan dalam bertaubat. Apakah ada cara ampuh lagi selain beristighfar?”
“Waduh perang lagi. Ceritakan saja
Dul biar kami bisa mencerna. Payah. Payah. Payah. “ potong Marhasan.
Dalam kesempatan pulang saya
menghadiri pesta resepsi saudara. Sebersit terlintas dalam benak bahwa keluarga
harmonis tergantung pada acara resepsi. Sebuah resepsi didesain agama memiliki
dua manfaat: pertama, doa para kiai, ulama, sesepuh, dan undangan yang tak
lepas dalam konsep sakinah mawaddah marahmah. Kedua, mengikuti sunah Rosul yang
dipraktekkan pada perkawinan putri tercinta Saiyidah Fatima dengan Saiyyidina
Ali. Dari dua manfaat di atas sudah sangat jelas hikmahnya. Sekiranya satu
kemanfaatan saja sudah cukup mewakili kemanfaatan lainnya. Sebab, kekuatan doa
lebih cepat dari gerak niat manusia. Misalnya, sewaktu resepsi banyak orang
berdoa sekaligus mengamini. Kalau dipersatasekan melebihi setengah persen yang
hal itu diyakini ada seorang wali sebagai perwakilan keistijaban doa pada
Tuhan. Otomatis Tuhan mengabulkan permintaannya dan Ahlul `Ars akan langgeng
sampai akhirat. Dan manfaat kedua adalah tambahan pewarna keharmonisan di dunia
dan sepatu sewaktu berjalan di jebatan Shiratal
Mustaqim menuju pertemuan di mana berkumpulnya Ahlul `Ars di surge yang menjadi Ahlul Baitnya langsung
Kanjeng Nabi Muhammad beserta keluarganya. Pertemuan ini adalah pertemuan yang
mengikuti sunah Rosul dan tercatat
sebagai golongannya. Alangkah baiknya jika kedua manfaat dikombinasikan agar
lengkap infrastuktur keluarga seperti harapan Nabi.
Setiap
harapan memiliki daya magnet bagi manusia. Untuk mencapainya kita harus
mempertemukan min dengan ples. Namun manusia membalikkan keadaan, min dipaksa
bertemu min dan ples dipaksa betemu dengan ples. Sehingga tidak ada daya tarik menarik
di antara keduanya. Artinya, harapan dan niat memiliki daya tarik tersendiri
sehingga manusia terdorong mewujudkannya. Jangan kita balikkan menjadi omong
kosong bertemu dengan otak yang dapat menghasilkan prilaku buruk terhadap
mekanisme kehidupan. Maka efek yang didapatkan adalah manusia tidak memiliki
misi sementara dunia memprioritaskan misi pada manusia untuk mencari
harapan-harapan Tuhan.
Kok
saya malah berperan sebagai filosofis. Mending saya lanjutkan cerita awalnya.
Saya
terkejut melihat tradisi yang menyimpang dari harapan sewaktu di pesantren.
Saya tak berani membawa harapan bagaikan setitik putih tak bisa memputihkan
sebotol warna hitam. Akhirnya, harapan saya tenggerkan pada ranting pohon di
sepanjang jalan setapak dan menanjak. Tentu ada rasa kekecewaan yang
dirahasiahkan saya dan Tuhan. Sungguh fenomena langkah bagi saya. Apa memang
pertama kalinya saya melihatnya? Entah mimpi apa tadi malam!
Saya
menyapu ruang yang kental adat Madura. Dalam konsep desa , apabila merayakan
resepsi tidak lengkap rasanya kalau tidak mengundang Tandak. Tandak adalah
sebuah adat Madura yang diwariskan leluhur dan memberi pengarahan tentang agama
melalui kejung atau puisi-puisi
macapat. Namun pada era terkini Tandak mengalami transisi keagamaan sehingga
kaum santanisme dan hedonisme telah mengubah alurnya menjadi kemksiatan. Letak
perubahannya bisa dilihat dari aktor perempuan panggung yang mengumbar syahwat.
Kemudian mencipta magnet untuk mengajak kaum Adam menyawerkan uang pada aktor
panggung. Tanpa ada orang lain curiga, ketika semuanya mempadatkan panggung.
Tangan sebagai penyaluran uang tidak menyalurkan secara tepat. Artinnya, uang
disalurkan pada benda-benda yang terlarang. Fenomena ini kerap terjadi
diberbagai wilayah sehingga ruh tradisi semakin lama semakin membuyar.
Anehnya
lagi, tradisi Tandak berpotensi pada pada orang kaya terutama orang Jakarta-an.
Seolah mereka hadir membawa setumpuk
uang lalu menaburkan seperti orang kesurupan. Mereka baru sadar nantinya
sehabis acara. Uang yang ditaburkan akan menghatuinya untuk kembali merantau ke
Jakarta. Apakah uang di Jakarta seperti memetik daun? Tentu saja tidak. Rela
tidak tidur semalaman, kalaupun hendak terlelap mengirim bantuan pada secangkir
kopi dan sebatang rokok. Hal tersebut berlangsung setiap malam sebab momen
keuntungan besar tergantung pada malam hari…
“Di
mana para Kiai, ulama, MUI, NU masalah sepeleh ini tidak ada tindakan secara
intensif?” ujar Dulhaddat secara lantang.
“Proses
masih Dul?”
“Proses
kok lama. Berarti lalai namanya!”
“Terus
kita minta bantu pada siapa?”
“Kirim
bantuan saja pada Marhasan. Dia `kan lebih tahu dari kita”
“Marhasan
lagi! Apa sih kelebihan dia kok namanya sering disebutkan” bertanya Matra`i
“Mana
mungkin tidak ada kelebihan kalau namanya tidak sering disebutkan. Logikanya.
Dia `kan aneh bin ajaib. Orang multiinterpretasi terhadapnya: filosofis, ilmuan,
cendikiawan, penyair, kiai, ulama, wali… dia `kan punya azimat “Sing Penting
Tenang” sesekali diucapkan tenang semuanya. Saya sering didamprat masalah lalu
bercurhat pada Marhasan. Kemudian menjawab “Sing Penting Tenang” ya jadinya tenang
sampai sekarang.”
“Oh,
jadi Marhasan adalah Gusdur. Gitu Aja Kok Repot.”
Tiba-tiba
Endu nyeleneh. “Tidak. Marhasan adalah Bhighalan.
Dia `kan suka menjebak anak kecil lalu mengambil pemikiran, semangat, darah
muda untuk dijadikan konsorium sebagai bentuk perlawanan terhadap penyimpangan”
Marhasan
membaringgkan dirinya pada lantai. “Silahkan kalian perdebatkan dulu, tapi
jangan lebih satu jam. Rundingkan mana yang lebih penting, pakai azimat “Sing
Penting Tenang” atau menjadi Bhighalan
untuk mempenuhkan konsoriumnya. Kalau selesai perundinganya, bangunkan aku…”
Gersik putih, 29
September 2017
0 Response to "Azimat Sing Penting Tenang"
Posting Komentar