Lapa Taman punya Cerita
Lapa Taman punya
Cerita
Meskipun
perjalanan ke Lapa Taman itu sangat singkat, hanya seharian, bias berjam-jam kalau Marhasan bercerita
tentang manfaat yang diperoleh.
Bukan
hanya bagaimana desa dan manfaat masyarakat Lapa Taman, melainkan juga bagaimana
Marhasan dan Dulhaddat beraksi, menanggapi, mendiskusikan, bahkan memperdebatan
apapun yang mereka jumpai dalam perjalanan.
Misalnya,
ketika perut mereka lapar, mereka “setengah mati” mencari makanan di sepanjang
jalan, namun tak ada toko yang terlihat, karena memang kondisi geografisnya
bukan desa industri. Tak terdengar keramaian orang, hanya sesekali deru klakson
saling bersahutan di sepanjang jalan provinsi. Kemudian, Dulhaddat menyuruh Marhasan
mencari rumah untuk menuntaskan hajat kecilnya. Untung Tuhan berpihak pada
keduanya, mereka mampir ke sebuah rumah sederhana yang dihuni orang sederhana. Dulhaddat
pun mencari kamar mandi. Menghilang dipersimpangan. Marhasan duduk bersantai.
Lalu tuan rumah mmenyuguhkan hidanngan khas Lapa Taman, yaitu Jellebhieh.
Rasanya tak sempurna meninggalkan Dulhaddat sendirian di kamar mandi semantara
dia dengan nikmatnya memakan jellebhieh. Muncullah Dulhaddat dari persimpangan,
kemudian ikut menyantap bersama Marhasan. Marhasan mengambil duluan sebab
sedari tadi perutnya sangat lapar, lalu disusul Dulhaddat. Ketika Marhasan
membelahnya terdapat lelehan gula merah yang keluar sehingga menambah
kenikmatan tersendiri di mulutya.
“Seandainya
jellebhieh menjadi makanan menu pembuka restoran berbintang, pasti makanan menu
lainnya akan terasa nikmat pula” berkata Marhasan mencairkan ruangan sembari
mengunyah.
“Bisa
seperti itu?” Dulhaddat bertanya-tanya.
“Tentu
bisa. Makanan selanjutnya tergantung pada makanan sebelumnya. Makanan pembuka
adalah gerbang rasa makanan inti. Kalau pembukanya saja tidak mengenakan maka
pelanggan mengklaim sama makanan setelahnya…”
“Tapi
apa mungkin jellebhieh layak terima produsen?”
“Sangat
mungkin sekali, hanya saja masyarakat di sini tidak piawai dalam mendesain
sehingga kualitas jelllebhieh tak layak pasar. Seandainya didesain unik dan layak produsen dan perlu
penambahan kombinasi agar terlihat indah, restoran mana yang menolaknya?”
Dulhaddat
hanya mengangguk saja. Makanan hidangan mereka habiskan tanpa ada secuil sisa
gula yang tersisa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju lokasi tambak.
Tak lupa pengucapan terima kasih atas tumpangan dan makanannya. Akhirnya,
mereka menghilang dari arah pandang tuan rumah.
Kemudian
Marhasan berhenti. Dia menyapu semua pandangan. Entah, apa yang dilihat? Terus
mendadak membantinng sepedanya menyusuri
jalan setapak dan menanjak. Duhaddat bisa melihat dengan jelas. Ternyata
temannya sudah menemukan titik lokasi targetnya. Ada keramaian di pinggir
tambak, entah demo, perampokan, suara rakyat, atau apa..? mereka berdua bisa
melihat dari kejahuan. Sesekali terdengar erengan dan teriakan penh
kegembiraan. Ada rasa penasaran yang mendorong keduannya untuk menghampiri. Namun, seseorang bertubuh kekar menghadang
mereka, lalu membawanya menuju ke gubuk sederhana – hanya beratap daun rimba dan
dinding kardus – agar tidak mengganggu aktivitas para warga.
“Apa
yang dilakukan warga di sana Pak” bertanya Marhasan.
“Mereka
membantu saya memanen udang!” jawab Bapak Mudahwi dengan senyum khasnya.
“Berarti
mereka digaji dong?” celetuk Dulhaddat.
“Oh
tidak. Dalam tradisi Lapa Taman apabila tambak sudah sampai waktunya panen para
warga bergotong royong membatu pemilik tambak. Mereka tidak minta gaji.
Sesekali pemilik tambak membawa makanan, camilan dan kopi sebagai penghilang
dahaga. Ada juga mengongkosnya, mungkin pemilik tambak kelebihan rezeqi”
Aktivitas
perlu dilirik desa lainnya. Manusia memang rewel. Kalau panas, minta hujan. Kalau
hujan menyerbu tiap hari, minta panas. Kalau gelisa, ingin tenang. Ada pekerjaan
ada uang. Begitulah memang siklus psikologi manusia. Tetapi yang terjadi di Lapa
Taman bukan hanya itu, melainkan karena warga di sana sadar bahwa gotong royong
adalah subtansi keharmonisan hubungan antar warga.
“Saya
sudah paham pak. Tapi apakah udang di sini sama dengan udang lainnya, seperti
udang Gersik Putih yang sama memiliki tambak dan dijual secara pasaran?”
Bapak
Mudahwi tersenyum sumringah, “Tentu saja beda. Udang Gersik Putih jual pasarnya
hanya wilayah Gapura `kan? Akan tetapi udang Lapa Taman dapat diterima produsen
restotoran berbintang. Tentu sudah jelas perbedaannnya. Kualitas udang Lapa
Taman terasa nikmat dan harganya sungguh mengggiurkan paling mahal Rp.
90.000/Kg dan paling murah Rp. 50.000/Kg hanya saja kendala yag dialami oleh
petambak adalah penyakit atau virus yang
selama ini menyerang udang. Jika udang terserang penyakit maka udang harus
dipanen lebih awal sehingga harga udang menurun. Selama ini masih belum ada
cara pencegahannya.”
“Berarti
udang Gersik Putih jauh kulitasnya dari udang Lapa Taman. Oh ya saya mulai
paham. Terus apakah tambak di sini milik sendiri `kan?
“Iya
benar, berbeda dengan Lapa Daya terus ke Lombang lebih banyak dikuasai investor
asing. Sering sekali saya mendengar rius resah masyarakat, sebab nantinya akan
bercerita apa pada keturunannya kalau warisan nenek moyangnya sudah diambil
alih pada tangan investor asing. Masyarakat baru menyadari setelah ada
pengarahan dari kompolan Tera` Bulan bahwa masa depan bergantung pada tanah
sekarang. Bagaimana mungkin keturunannya bisa mencipcipi manisnya tanah kelak
yang dapat dijadikan peradaban tapi tanahya sudah bukan hak miliknya. Bahkan,
tanpa menyadari tanah yang dijual tidak termasuk harga perusahaan, dibawah
standar harga sewajarnya. Saya bersyukur tentang kesadaran emosionalitas Lapa Taman
tinggi meskipun masyarakatnya non sarjana. Tapi kalau persoalan tanah, saya
rasa masyarakat Lapa Taman memiliki ketajaman analisis atau analisisya bisa
melampaui zamannya. Untuk apa bertitel sarjana tapi emosionalitasnya lemah.
Apakah yang memprioritaskan inteklual saja? Saya rasa tidak cukup. Maka “kesarjanaan”
itu dapat digunakan untuk “Berfikir Negatif Sinting” indikatornya dapat dilihat
pada purusahaan elit yang cendrung koruptor dan berpolitik licik…”
Mereka
berdua mengangguk tanda paham. Waktu yang memberinya peluang kini sudah
berakhir. Matahari saja perlu istirahat setelah seharian melakukan perjalan. Apalagi
mereka?
“Seandainya
Jellebieh juga bisa mengikuti jejak udang masuk kerestoran lengkap sudah
kekayaan Lapa Taman dan diakui sebagai desa industri.” Lagi-lagi Marhasan mulai
mengkhayal.
Gersik Putih, 03
September 2017
0 Response to "Lapa Taman punya Cerita"
Posting Komentar