Pesantren dan Ruh Kepenulisan


Pesantren dan Ruh Kepenulisan

            Suatu ketika saya tertegun melihat kitab kecil yang dikarang oleh ulama-ulam pesantren klasik. Mengapa tulisan mereka tetap eksis dibaca sampai saat ini, meskipun secara pisik pengarangnya sudah meninggal? Baik dibaca di pesantren maupun di pengajian umum!. Namun dilihat dari perkembangan zaman saat ini, ada perbedaan yang signifikan. Dengan stereptip penulis klasik dan penulis pesantren modern. Mengapa terjadi transformasi? Apakah santri sekarang sudah tidak mampu membaca sejarah atau proses kepenulisan santri klasik?
            Saya mencoba menyelami ke lautan tradisi kepenulisan santri klasik. Banyak saya temukan mutiara ilmu yang jarang dikerjakan para santri sekarang, diantaranya ritual. Ya, ritual adalah fasilitas seseorang untuk mengenal wujud dan hakikat yang sebenarnya untuk samapi pada kedudukan yang istimewa. Ritual ini sanagat melekat pada setiap santri, sehingga bagi santri kalsik satu kali lupa mengerjakan ritual ini dianggap tak patot (tidak sopan) terhadap senior-senior mereka yang sudah lama konsisten mentradisikan ritual seperti ini. Makanya para santri kalasik masih percaya pada sesuatu yang berbau mistis, karena diyakini sebagai fasilitas turunnya keberkahan dari Allah. Tentunya, bagi santri klasik yang benar-benar memegan tradisi ini. Sebelum menyentuh pena biasanya berpuasa tiga hari dengan tujuan menghilangkan dosa bersamaan dengan hilangnya keinginan duniawi. Setelah selesai, pada malam terakhir sesudah berpuasa melakukan sholat sunah dua rakaat dengan meminta pengampunan, perlindungan dan kelancaran pemikiran kepada Dzat Tuhan seluruh alam. Allahu Robbi. Kemudian dengan membaca basmala menyentuh pena  dan memulai pengembaraan pemikiran dalam membentuk karya atau karangan. Biasanya waktu yang tepat memulai menulis pada sepertiga malam, dengan diselimuti sunyi dan gemuruh serangga liar. Karena waktu itu mereka yakini Allah menurunkan rahmat dan hidayahNya bagi manusia yang bangun dari mimpinya untuk membelah sunyi. Apakah ritualnya sudah selesai? Tidak. Masih ada ritual yang harus dikerjakan bahkan menjadi pamungkas dari semua ritual di atas. Karena ritual ini merupakan tanda legitimasi layak atau tidak layaknya suatu karangan. Ritual ini dikenal dengan tirakat. Karya yang sudah selesai ditulis  didiamkan selama 41 sehari-semalam  di tempat-tempat keramat, juga ditemani kamenyan atau dupa. Sementara penulisnya tidak langsung pergi melainkan ikut menemani karyanya sembari membaca zikir-zikir kepada Allah dengan mengharap ruh karya menyatu dengan tubuhnya. Biasanya tempat yang dominan yang diyakini dapat mengsukseskan tirakatnya seperti makam para wali, para ulama, dan tempat keramat lainya. Mereka ke tempat itu bukan semata menta parnyoonan (minta permohonan) pada syetan atau jin, melaikan dijadikan fasilitas ibadah kepada Allah.         Setelah semua ritual selesai mereka-santri klasik meyakini siap dilombakan kalau ada event atau layak dibaca orang lain. Dari ritual di atas disebut dengan ritual keagamaan. Makanya mereka optimisme melakukan ritual tersebut. Bahwa Allah dapat memeluk tulisannya sehingga ruh karya bisa menyatu, terpadu dengan tubuhnya dan tetap eksis dibaca walau zaman berganti rupa dan karakternya.
Begitu banyaknya penulis pesantren sekarang, namun sedikit-bahkan tidak ada-santri memperaktekkan tradisi di atas. Hal ini dilatarbelakangi dengan perkembangan zaman semakin instan, sehingga karyanya pun serba “serba instan”. Zaman dengan sejuta keindahan dapat menjebak para santri, sehingga buta pada jati dirinya sendiri. Banyak orang beranggapan santri sekrang su`ul adhap (tidak sopan) terhadap lalampan (tradisi) santri klasik. Santri sekarang banyak berenang pada kesenangan semata dan kesuksesnya pun sementara. Oleh karena itu, menghidupkan tradisi pesantren sama saja menumbuhkan prilaku luhur, karena tradisi pesantren sangat erat dengan kultur keagamaan dan social kemasyarakatan.
Bisa kita lihat dalam dunia literasi pesantren. Diakui atau tidak pesantren sekarang sedikit demi sedikit memasuki fase modernisasi, yang di dalamnya sering terjadi pertikaian silat lidah baik melaui mulut ke mulut atau tulisan ilmiyah. Banyak tulisan pesantren yang saya baca namun sedikit tulisan yang hidup sampai sekarang, entah selanjutnya. Malahan berkisaran dekade 1 tahun, 5 tahun, atau 20 tahun-kalau itu terjadi- ini memang menjadi problem pada setiap individu pesantren dan perlu penanaman ulang ritual kepenulisan pra santri klasik agar karya tidak instan. Minimal memiliki prinsip sendiri memegang tradisi.
            Tentu kita bisa merasakan sendiri bagaimana nasib literasi pesantren saat ini. Justru bertolakbelakang dengan literasi pesantren klasik. Pesantren yang dulunya dikenal dengan tempat sacral dan penuh barokah. Di dalamnya terdapat ilmu kerokhanian, sehingga orang yang memasuki atmosfer pesantren merasa sejuk dan tentram, karena ada kedekatan dengan Allah. Namun kesakralan itu terlihat semu. Bisa anda lihat dari cara menulis santri sekarang. Mengapa demikian? Karena dengan cara menulis santri bisa mencapai ma`rifatillah. Pesantren mempunyai anggapan bahwa penulis yang sukses adalah penulis yang dengan tulisannya berada di sisi Allah dan terbang  dengan sayap-sayap karyanya menuju surgawi. Di sisi lain, santri meyakini bahwa setiap karya  akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah pada akhirat nanti, makanya para santri berhati-hati dalam menorehkan pemikikiran dikhawatirkan menjadi penyebab tergelincirnya ke jurang Naraka. Maka dari itu, kalau nasib pesantren masih dikembangkan diera ini tanpa daur ulang sebelumnya, sama saja pesantren menggadaikan kesakralannya pada dunia yang sementara. Kendati demikian, pesantren menjadi “bayang-bayang” mekenisme kehidupan dalam membentuk peradaban terutama santi pejuang tanah air. Namanya juga “bayang-bayang” maka hasilnya pun “bayang-bayang”.
            Setiap manusia pasti meiliki ruh agar hidup dan merasakan nikmatnya kehidupan. Begitu pun juga karya layaknya manusia seperti kita perlu adanya ruh agar hidup. Perlu digaris bawahi ruh karya berbeda dengan ruh manusia. Kalau ruh manusia tentu sudah jelas dalam Al Quran dan Hadist sedangkan ruh karya bisa dilihat dari banyaknya orang membaca, orang mengapresiasi, dan dan teruji oleh zaman. Kalau karya dibaca sementara, itu namanya  ruhnya sementara. Kalau terus menerus dibaca, itu namanya bertahan lama. Seperti kitab-kitab salafus shalih karya para ulama timur tengah atau ulama pesantren yang tetap langgeng dibaca sampai saat ini. Karena ruh karya mereka menyatu dengan tubuhnya. Maka dari itu, ruh dan karya adalah dua komponen keabadian. Satu saja terpisah maka karya itu siap menunggu ajal yang akan menjemputnya. Diakui atau tidak karya butuh kehidupan dan tempat yang layak dikenang sebab karya mempunyai perasaan dalam menetukan citra rasanya.
Gapura, 21 September 2017









1 Response to "Pesantren dan Ruh Kepenulisan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel